Rabu, 27 Juli 2011

CARA MEMBERI MUSIK PADA BLOG

awalnya saya ngiri ma mas bor mas bro yang punya blog setiap kali di buka langsung muter sendiri lagunya, bagi yang buka blognya juga enak bisa baca-baca sambil dengerin musik.........hemmmmmmmmm saya jadi penasaran gimana bikinya z..............?
setelah berhari-hari saya tanya sesepuh saya mbah google, rata - rata sama aja kita harus masukin code embed lagu itu ke blog kita, tapi setiap kali di coba malah bikin setresss,temen-temen tau kan dan pernah ngrasainkan yang namanya setres,,,,,,,,ngelu neng sirah,,,,,,,kata wong jowo.....xix...xix.....xix.....maklum saya asli jawa katrok, setiap di coba tapi gak bisa muter sendiri malah kadang da yang cuman muncul liriknya aja sapa coba yang g' setreess...? dan setelah saya coba tanya2 lagi sama sesepuh-sesepuh eeeeeeeee..........e..........ternya ada situs yang udah nyediain lagu2 buat blog yang bisa langsung muter sendiri..........okeylah klo begiciu......langsung aja menuju TKP gan ne linknya http://www.mp3-codes.com/download/433023… di jamin mak nyos.........di situ udah ada kode HTML kemudian kalian masuk ke blogger cari eleman halaman tambahan —–> Tambahkan HTML / JavaSrip ——> Copy Paste Kode HTML Musik -Live. Net kedalam halaman —-> Simpan —–> Selesai.
selamat berkreasi bro.............jangan lupa comenya..........oce.....
salam damai dari cucu sogleng

K E J A W E N

Mari kita mengutip satu tembang Jawa
Tak uwisi gunem iki                     saya akhiri pembicaraan ini
Niyatku mung aweh wikan    saya hanya ingin memberi tahu
Kabatinan akeh lire                        kabatinan banyak macamnya
Lan gawat ka liwat-liwat                 dan artinya sangat gawat
Mulo dipun prayitno                       maka itu berhati-hatilah
Ojo keliru pamilihmu                        Jangan kamu salah pilih
Lamun mardi kebatinan                    kalau belajar kebatinan
Tembang ini menggambarkan nasihat seorang tua (pinisepuh) kepada mereka yang ingin mempelajari kabatinan cara kejawen. Kiranya perlu dipahami bahwa tujuan hakiki dari kejawen adalah berusaha mendapatkan ilmu sejati untuk mencapai hidup sejati, dan berada dalam keadaan harmonis hubungan antara kawula (manusia) dan Gusti (Pencipta) ( jumbuhing kawula Gusti ) /pendekatan kepada Yang Maha Kuasa secara total.
Keadaan spiritual ini bisa dicapai oleh setiap orang yang percaya kepada Tuhan, yang mempunyai moral yang baik, bersih dan jujur. beberapa laku harus dipraktekkan dengan kesadaran dan ketetapan hati yang mantap. Pencari dan penghayat ilmu sejati diwajibkan untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi semua orang serta  melalui kebersihan hati dan tindakannya. Cipta, rasa, karsa dan karya harus baik, benar, suci dan ditujukan untuk mamayu hayuning bawono. Ati suci jumbuhing Kawulo Gusti : hati suci itu adalah hubungan yang serasi antara Kawulo dan Gusti,  kejawen merupakan aset dari orang Jawa tradisional  yang berusaha memahami dan mencari makna dan  hakekat hidup yang mengandung nilai-nilai.
Dalam budaya jawa dikenal adanya simbolisme, yaitu suatu faham yang menggunakan lambang atau simbol untuk membimbing pemikiran manusia kearah pemahaman terhadap suatu hal secara lebih dalam. Manusia mempergunakan simbol sebagai media penghantar komunikasi antar sesama dan segala sesuatu yang dilakukan manusia merupakan perlambang dari tindakan atau bahkan karakter dari manusia itu selanjutnya. Ilmu pengetahuan adalah simbol-simbol dari Tuhan, yang diturunkan kepada manusia, dan oleh manusia simbol-simbol itu ditelaah dibuktikan dan kemudian diubah menjadi simbol-simbol yang lebih mudah difahami agar bisa diterima oleh manusia lain yang memiliki daya tangkap yang berberda-beda.
Biasanya sebutan orang Jawa adalah orang yang hidup di wilayah sebelah timur sungai Citanduy dan Cilosari. Bukan berarti wilayah di sebelah barat-nya bukan wilayah pulau Jawa. Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang menjunjung tinggi rasa kekeluargaan dan suka bergotong royong dengan semboyannya “saiyeg saekoproyo “ yang berarti sekata satu tujuan.
Kisah suku Jawa diawali dengan kedatangan seorang satriya pinandita yang bernama Aji Saka, sampai kemudian satriya itu menulis sebuah sajak yang kemudian sajak tersebut diakui menjadi huruf jawa dan digunakan sebagai tanda dimulainya penanggalan tarikh Caka.
Kejawen adalah faham orang jawa atau aliran kepercayaan yang muncul dari masuknya berbagai macam agama ke jawa. Kejawen mengakui adanya Tuhan Gusti Allah tetapi juga mengakui mistik yang berkembang dari ajaran tasawuf agama-agama yang ada.
Tindakan tersebut dibagi  tiga bagian yaitu tindakan simbolis dalam religi, tindakan simbolis dalam tradisi dan tindakan simbolis dalam seni. Tindakan simbolis dalam religi, adalah contoh kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa Tuhan adalah zat yang tidak mampu dijangkau oleh pikiran manusia, karenanya harus di simbolkan agar dapat di akui keberadaannya misalnya dengan menyebut Tuhan dengan Gusti Ingkang Murbheng Dumadi, Gusti Ingkang Maha Kuaos, dan sebagainya.
Tindakan simbolis dalam tradisi dimisalkan dengan adanya tradisi upacara kematian yaitu medo’akan orang yang meninggal pada tiga hari, tujuh hari, empatpuluh hari, seratus hari, satu tahun, dua tahun, tiga tahun, dan seribu harinya setelah seseorang meninggal (tahlillan). Dan tindakan simbolis dalam seni dicontohkan dengan berbagai macam warna yang terlukis pada wajah wayang kulit; warna ini menggambarkan karakter dari masing-masing tokoh dalam wayang.
Perkembangan budaya jawa yang mulai tergilas oleh perkembangan teknologi yang mempengaruhi pola pikir dan tindakan orang jawa dalam kehidupan. Maka orang mulai berfikir bagaimana bisa membuktikan hal gaib secara empiris tersebut dengan menggunakan berbagai macam metode tanpa mengindahkan unsur kesakralan. Bahkan terkadang kepercayaan itu kehilangan unsur kesakralannya karena dijadikan sebagai obyek exploitasi dan penelitian.
Kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa segala sesuatu adalah simbol dari hakikat kehidupan, seperti syarat sebuah rumah harus memiliki empat buah soko guru (tiang penyangga) yang melambangkan empat unsur alam yaitu tanah, air, api, dan udara, yang ke empatnya dipercaya akan memperkuat rumah baik secara fisik dan mental penghuni rumah tersebut. Namun dengan adanya teknologi konstruksi yang semakin maju, keberadaan soko guru itu tidak lagi menjadi syarat pembangunan rumah. Dengan analisa tersebut dapat diperkirakan bagaimana nantinya faham simbolisme akan bergeser dari budaya jawa. Tapi bahwa simbolisme tidak akan terpengaruh oleh kehidupan manusia tapi kehidupan manusialah yang tergantung pada simbolisme. Dan sampai kapanpun simbolisme akan terus berkembang mengikuti berputarnya sangkakala.
Mangkunegara IV (Sembah dan Budiluhur)
Mangkunegara IV memiliki empat ajaran utama yang meliputi sembah raga, sembah cipta (kalbu), sembah jiwa, dan sembah rasa.
Sembah Raga
Sembah raga ialah menyembah Tuhan dengan mengutamakan gerak laku badaniah atau amal perbuatan yang bersifat lahiriah. Cara bersucinya sama dengan sembahyang biasa, yaitu dengan mempergunakan air (wudhu). Sembah yang demikian biasa dikerjakan lima kali sehari semalam dengan mengindahkan pedoman secara tepat, tekun dan terus menerus, seperti bait berikut:
Sembah raga puniku / pakartining wong amagang laku / sesucine asarana saking warih / kang wus lumrah limang wektu / wantu wataking wawaton
Sembah raga, sebagai bagian pertama dari empat sembah yang merupakan perjalanan hidup yang panjang ditamsilkan sebagai orang yang magang laku (calon pelaku atau penempuh perjalanan hidup kerohanian), orang menjalani tahap awal kehidupan bertapa (sembah raga puniku, pakartining wong amagang laku). Sembah ini didahului dengan bersuci yang menggunakan air (sesucine asarana saking warih). Yang berlaku umum sembah raga ditunaikan sehari semalam lima kali. Atau dengan kata lain bahwa untuk menunaikan sembah ini telah ditetapkan waktu-waktunya lima kali dalam sehari semalam (kang wus lumrah limang wektu). Sembah lima waktu merupakan shalat fardlu yang wajib ditunaikan (setiap muslim) dengan memenuhi segala syarat dan rukunnya (wantu wataking wawaton). Sembah raga yang demikian ini wajib ditunaikan terus-menerus tiada henti (wantu) seumur hidup. Dengan keharusan memenuhi segala ketentuan syarat dan rukun yang wajib dipedomani (wataking wawaton). Watak suatu waton (pedoman) harus dipedomani. Tanpa mempedomani syarat dan rukun, maka sembah itu tidak sah.
Sembah raga tersebut, meskipun lebih menekankan gerak laku badaniah, namun bukan berarti mengabaikan aspek rohaniah, sebab orang yang magang laku selain ia menghadirkan seperangkat fisiknya, ia juga menghadirkan seperangkat aspek spiritualnya sehingga ia meningkat ke tahap kerohanian yang lebih tinggi.
Sembah Cipta ( Kalbu )
Sembah ini kadang-kadang disebut sembah cipta dan kadang-kadang disebut sembah kalbu, seperti terungkap pada Pupuh Gambuh bait 1 dan Pupuh Gambuh bait 11 berikut :
Samengkon sembah kalbu / yen lumintu uga dadi laku / laku agung kang kagungan narapati / patitis teteking kawruh / meruhi marang kang momong.
Apabila cipta mengandung arti gagasan, angan-angan, harapan atau keinginan yang tersimpan di dalam hati, kalbu berarti hati , maka sembah cipta di sini mengandung arti sembah kalbu atau sembah hati, bukan sembah gagasan atau angan-angan.
Apabila sembah raga menekankan penggunaan air untuk membasuh segala kotoran dan najis lahiriah, maka sembah kalbu menekankan pengekangan hawa nafsu yang dapat mengakibatkan terjadinya berbagai pelanggaran dan dosa (sucine tanpa banyu, amung nyunyuda hardaning kalbu).
Thaharah (bersuci) itu, demikian kata Al-Ghazali, ada empat tingkat.
Pertama, membersihkan hadats dan najis yang bersifat lahiriah.
Kedua, membersihkan anggota badan dari berbagai pelanggaran dan dosa.
Ketiga, membersihkan hati dari akhlak yang tercela dan budi pekerti yang hina.
Keempat, membersihkan hati nurani dari apa yang selain Allah. Dan yang keempat inilah taharah pada Nabi dan Shiddiqin.
Jika thaharah yang pertama dan kedua menurut Al-Ghazali masih menekankan bentuk lahiriah berupa hadats dan najis yang melekat di badan yang berupa pelanggaran dan dosa yang dilakukan oleh anggota tubuh. Cara membersihkannya dibasuh dengan air. Sedangkan kotoran yang kedua dibersihkan dan dibasuh tanpa air yaitu dengan menahan dan menjauhkan diri dari pelanggaran dan dosa. Thaharah yang ketiga dan keempat juga tanpa menggunakan air. Tetapi dengan membersihkan hati dari budi jahat dan mengosongkan hati dari apa saja yang selain Allah.
Sembah Jiwa
Sembah jiwa adalah sembah kepada Hyang Sukma ( Allah ) dengan mengutamakan peran jiwa. Jika sembah cipta (kalbu) mengutamakan peran kalbu, maka sembah jiwa lebih halus dan mendalam dengan menggunakan jiwa atau al-ruh. Sembah ini hendaknya diresapi secara menyeluruh tanpa henti setiap hari dan dilaksanakan dengan tekun secara terus-menerus, seperti terlihat pada bait berikut:
Samengko kang tinutur / Sembah katri kang sayekti katur / Mring Hyang Sukma suksmanen saari-ari / Arahen dipun kecakup / Sembahing jiwa sutengong
Dalam rangkaian ajaran sembah Mangkunegara IV yang telah disebut terdahulu, sembah jiwa ini menempati kedudukan yang sangat penting. Ia disebut pepuntoning laku (pokok tujuan atau akhir perjalanan suluk). Inilah akhir perjalanan hidup batiniah. Cara bersucinya tidak seperti pada sembah raga dengn air wudlu atau mandi, tidak pula seperti pada sembah kalbu dengan menundukkan hawa nafsu, tetapi dengan awas emut (selalu waspada dan ingat/dzikir kepada keadaan alam baka/langgeng), alam Ilahi.
Betapa penting dan mendalamnya sembah jiwa ini, tampak dengan jelas pada bait berikut :
Sayekti luwih perlu / ingaranan pepuntoning laku / Kalakuan kang tumrap bangsaning batin / Sucine lan awas emut / Mring alaming lama amota.
Berbeda dengan sembah raga dan sembah kalbu, ditinjau dari segi perjalanan suluk, sembah ini adalah tingkat permulaan (wong amagang laku) dan sembah yang kedua adalah tingkat lanjutan. Ditinjau dari segi tata cara pelaksanaannya, sembah yang pertama menekankan kesucian jasmaniah dengan menggunakan air dan sembah yang kedua menekankan kesucian kalbu dari pengaruh jahat hawa nafsu lalu membuangnya dan menukarnya dengan sifat utama. Sedangkan sembah ketiga menekankan pengisian seluruh aspek jiwa dengan dzikir kepada Allah seraya mengosongkannya dari apa saja yang selain Allah.
Pelaksanaan sembah jiwa ialah dengan berniat teguh di dalam hati untuk mengemaskan segenap aspek jiwa, lalu diikatnya kuat-kuat untuk diarahkan kepada tujuan yang hendak dicapai tanpa melepaskan apa yang telah dipegang pada saat itu. Dengan demikian triloka (alam semesta) tergulung menjadi satu. Begitu pula jagad besar dan jagad kecil digulungkan disatupadukan. Di situlah terlihat alam yang bersinar gemerlapan. Maka untuk menghadapi keadaan yang menggumkan itu, hendaklah perasaan hati dipertebal dan diperteguh jangan terpengaruh apa yang terjadi. Hal yang demikian itu dijelaskan Mangkunegara IV pada bait berikut:
“Ruktine ngangkah ngukud / ngiket ngruket triloka kakukud / jagad agung ginulung lan jagad alit / den kandel kumandel kulup / mring kelaping alam kono.”
Sembah Rasa
Sembah rasa ini berlainan dengan sembah-sembah yang sebelumnya. Ia didasarkan kepada rasa cemas. Sembah yang keempat ini ialah sembah yang dihayati dengan merasakan intisari kehidupan makhluk semesta alam, demikian menurut Mangkunegara IV.
Jika sembah kalbu mengandung arti menyembah Tuhan dengan alat batin kalbu atau hati seperti disebutkan sebelumnya, sembah jiwa berarti menyembah Tuhan dengan alat batin jiwa atau ruh, maka sembah rasa berarti menyembah Tuhan dengan menggunakan alat batin inti ruh. Alat batin yang belakangan ini adalah alat batin yang paling dalam dan paling halus yang menurut Mangkunegara IV disebut telenging kalbu (lubuk hati yang paling dalam) atau disebut wosing jiwangga (inti ruh yang paling halus).
Dengan demikian menurut Mangkunegara IV, dalam diri manusia terdapat tiga buah alat batin yaitu, kalbu, jiwa/ruh dan inti jiwa/inti ruh (telengking kalbu atau wosing jiwangga) yang memperlihatkan susunan urutan kedalaman dan kehalusannya.
Pelaksanaan sembah rasa itu tidak lagi memerlukan petunjuk dan bimbingan guru seperti ketiga sembah sebelumnya, tetapi harus dilakukan salik sendiri dengan kekuatan batinnya, seperti diungkapkan Mangkunegara IV dalam bait berikut:
Semongko ingsun tutur / gantya sembah lingkang kaping catur / sembah rasa karasa wosing dumadi / dadi wus tanpa tuduh / mung kalawan kasing batos.
Apabila sembah jiwa dipandang sebagai sembah pada proses pencapaian tujuan akhir perjalanan suluk (pepuntoning laku), maka sembah rasa adalah sembah yang dilakukan bukan dalam perjalanan suluk itu, melainkan sembah yang dilakukan di tempat tujuan akhir suluk. Dengan kata lain, seorang salik telah tiba di tempat yang dituju. Dan di sinilah akhir perjalanan suluknya. Untuk sampai di sini, seorang salik masih tetap dibimbing gurunya seperti telah disebut di muka. Setelah ia diantarkan sampai selamat oleh gurunya untuk memasuki pintu gerbang, tempat sembah yang keempat, maka selanjutnya ia harus mandiri melakukan sembah rasa.
Pada tingkatan ini, seorang salik dapat melaksanakan sendiri sembah rasa sesuai petunjuk-petunjuk gurunya. Pada tingkat ini ia dipandang telah memiliki kematangan rohani. Oleh karena itu, ia dipandang telah cukup ahli dalam melakukan sembah dengan mempergunakan aspek-aspek batiniahnya sendiri.
Di sini, dituntut kemandirian, keberanian dan keteguhan hati seorang salik, tanpa menyandarkan kepada orang lain. Kejernihan batinlah yang menjadi modal utama. Hal ini sesuai dengan wejangan Amongraga kepada Tambangraras dalam Centini bait 156. Sembah tersebut, demikian dinyatakan Amongraga, sungguh sangat mendalam, tidak dapat diselami dengan kata-kata, tidak dapat pula dimintakan bimbingan guru. Oleh karena itu, seorang salik harus merampungkannya sendiri dengan segala ketenangan, kejernihan batin dan kecintaan yang mendalam untuk melebur diri di muara samudera luas tanpa tepi dan berjalan menuju kesempurnaan. Kesemuanya itu tergantung pada diri sendiri, seperti terlihat pada bait berikut:
Iku luwih banget gawat neki / ing rarasantang keneng rinasa / tan kena ginurokake / yeku yayi dan rampung / eneng onengira kang ening / sungapan ing lautan / tanpa tepinipun / pelayaran ing kesidan / aneng sira dewe tan Iyan iku yayi eneng ening wardaya

NGELMU KASUNYATAN

Kanggo gagaran nyumurupi manunggale KAWULA GUSTI, apa dene pratikele supaya bisa damang gelare Sastra Cetha, yaiku tulisan kang nyata, tulisan kang muni dewe tanpa diwaca yaiku blegere urip. Dadi amrih bisa nyumurupi marang uripe, garise dew kang landesan kukum sebab lan akibat (daruna lan wahana).

Kang minangka tulada dadi gagaran neniteni dumunung ana ing kahanane wong kang berbudi cukup, lire wong kang ngenggoni sipat-sipat kamanungsane, awatak asih marang sapadane tumitah, ambeg welasan gelem tetulung tanpa pamrih apa-apa, sing tumrap awake dewe lsp. Yen menawa tetembungan saiki, ya wong sing ajiwa sosial, kang gemblengane banjur dadi wong sing bisa ngayomisesamaning ngaurip tanpa melik apa-apa.

Mung perlu wae diimuti yen sipat sing kaya mangkono mau senajan ta becika pisan nanging yen kurang wicaksana anggone ngetrapake wahanane malah dadi kosok balen. Welas marang sak pada-padane tumitah kan kanti wicaksana iku ateges welas marang soksapoa kang mula pancen patut lan wajib diwelasi. Karana yen ora mengkono dadine malah banjur welas tanpa alis, semono uga ngenani prakara tetulung, yen kleru cak-cakane wahanane malah malah ngapitunani sing ditulung. Dadi bakune tindak kautamankasebut ing duwur kang kudu dilekasi adedasar kawicaksanan iku, kajaba wujud dadi kasuyatan uga kudu kang wahanane ora bakal agawe kapitunane jiwa maran sapa wae kang ditamnduki kautaman mau.

Tindak sing kaya mangkono iku ateges nuhoni dharmaning ngaurip amrih rahayuning jagad, mungguhung jagad pakeliran kaya lekase Sri Ramawijaya sing tumanduk marang maharesi Subali ing Guwa Kiskenda lan Rahwanaraja ing Ngalengkadiraja, utawa lekase Sri Kresna ing Dwarawati sing tumanduk marang para kadang Kurawa jroning perang Barata Yuda Jayabinangun. Kawicaksananing amrih rahayuning bawana nganti pantog tekan “tegel” ngrampungi para kang pada tumindak dur. Ora kena rasa sengit utawa getting, nanging karana rasa welase. Yen ta ora enggal disirnakake, kajaba kang pada ngawaki bakal saya gede durhakane, kahanane jagad uga banjur ora bakal leren anggone gasrek marga saka daya angkarane mau. Tindak tanpa kendat lan ajiwa sosial alambaran kawicaksanan, dayane mesti tumimbal-balik lire : sing sapa ngayomi liyan, prasasat ngayomi pribadine. Tabate ora ana liya kajaba mung kabecikan lan babrayan mesti gede panarimone marang wong kang sipate kaya mangkono mau.

Anadene kang diarani bisa mranata lakune nafsu lan meper sakehing pakarti kang tuwuh saka rangsang saya krekating jasad kadagingan iku, mranata bekaning urip lair lan bekaning urip batin. Bekaning urip lair kang tuwuh dening pakartining pancadriya lan bekaning urip batin kang tuwuh dening ubaling nafsu patang perkara, yaiku ; Mutmainah, Supiyah, Luwamah lan Amarah.

Nafsu patang perkara kasebut sarta pakartining pancadriya, iku samangsa ora dikendaleni, lire diuja tumindak ing salonggar-longgare, wahanane tumrap salira pribadi banjur dadi mbakar kasenengan lan kemareman, ambeg candala ing budi, watak dara cidra, demen fitnah lan nganiyaya ngumbar nguja ubaling nafsu, dene ing sabanjure dadi demen marang tumindak crobo (ora bisa weruh ing ukuran), laku nista, ambeg degsura, kesed lan sungkanan sarta lumuhmarang tarak brata. Kabeh mau pada mujudage sambeganing laku tumraping urip ya lait ya batin.

Ing sarehne wis bisa meper hawa nafsu lan ngeker pakartining pancadriya, temah bisa mranata jiwane sarta banjur ora wigih ngadepi sakehing goda rencana maheka warna sarta wasis nyabili seprelune. Yen wis kaya mengkono, dadine mestibanjur ora bakal kasamaran samangsa kudu ngadepi pati, karana jeroning uripe ora ninggalake tabe bebibget apa-apa.

Ngudi murih jiwa raga sarta sakabehane iku bisa lestari slamet iku kudu katindakake kalwan tanpa leren ing salawase urip, kanti awawaton sing wis ditetepake dening ngelmune, lakune supaya bisa tetep, ojo kongsi sulaya karo gegebengane.

Mula mangkana jalaran samangsa wis niyatingsun nggilud marang sawijining ngelmu, panggilutu kudu sing kalawan temenan, ora kena sulaya utawa nyulayani sakabehing angger-angger jer kabeh mau kena ingaranan sawijining prajanji kang kawetune lan kalakone mung sapisan. Bener ya sapisan iku, yen ta luputa ya ora kena diambali maneh dadi samangsa ora ngati-ati, wahanane bisa drawasi.

Srana kang bisa kanggo ngayuh marang iku mau kabeh kajaba tindak kaya kang wus kawedar ing katerangane ing duwur uga kudu bisa manunggalake KAWULA lan GUSTI, ya manunggalake raga lan sukma. Rehne karo-karone iku manunggal lan blegere pada dai prasemon gaibing Hyang Widi, ing samubarang rehe kudu sing kalawan tumata, solah bawa, muna-muni lsp. Kudu tansah diemuti yen kabeh mau atas asmane Pangeran. Tindakake roga karono dikemudeni dening sukma, dadi uga ateges tindake nyawa, tindake kawula pada karo tindake Gusti jer loro-lorone manunggal ana ing badan sawiji.

Ing antaran srana kang menika warna, srana panggayuke bisa kanti nggladi murih lair lan batine bisa tumata lan tentrem, meneng, wening lan dumunung – Tegese meneng iku ya menenge raga kang kaprabawa dening nafsu, wening iku weninge pikir, ngedohake gagasan sing tumuju marang tindak ora perlu lan ora utama, temah dumunung ana ing pusaraning gegayuhan. Jiwa raga sakojur gumolong gilik dadi siji ngadepi pajumbuhan kang pratitis nganti bisa klakon.

Yen laku sing kaya mangkana mau bisa digawe pakulinan lan bisa ajeg, samangsa ana gawe parigawe sawanci-wanci bisa diecakake kalawan ndadak sarta lekase bisa titis lan tatas. Satumungging rimbagan, gilig kaya gilige jladren kang munggah ing cithakon.

Surasane ngelmu sejati iku yen dirasakake temenan mula pancen nyenengake, karana bisa miyak sakabehing warana sing nutupi gaibing Pangeran bisa gelar wewadine jagad dalah saisine kabeh, wiwit kang agal kasar, nganti tekan sing alus ngrawit.

Mula keh-kehane banjur dadi kasegsem, kentir ing daya enggala bisa nyakup sakabehing isine wiwit “HA” nganti tekan “NGA”. Sing kaya mengkene iki njalari kurang pramareming panggudi lan suusurapane banjur mung grambyangan wae, kebat-kliwat, iki marga saka kapiluyune – malah marga anggone kayungyun lan kesusu nyumuruppi iku mau, nganti lali ing weweka. Ana ing ngendi-endi sing diujarake tansah ngelmune wae, ora ngemuti marang kahanane papan lan empane sarta wewalere. Ilang kaprayitnaning bantin ninggal pepacuh endi sing kena lan endi sing ora kena diwedharake, lekase kaya wong guru aleman, kepengin diarani sugih ngelmu utawa saora-orane digolongake marang wong sing anduweni reh kebatinan.

Tindak sing kang kaya mangkono mau kajobo ora prayoga, ugo ora bener, nyamari banget. Mula kudu sing bisa mapanake giludane ngetrapake surasaning ngelmune kalawan kawicaksanan – Tindak lan tanduk solah bawa muna-muni supaya sing tumata, tajem prayitna lan was pada ing samubarange katone jatmika.

Kanti laku kang kaya mangkono mau sarta kanti tansah nggladi murih Gusti manunggal lan Kawula samangsa wis bisa nyandhak marang tataraning gagayuhan kang sejati pindane prasasat bisa nemu pepadang kang sumunar cahyane amblerengi.

NGELMU KYAI PETRUK


Kuncung ireng pancal putih,
Swarga durung weruh,
Neraka durung wanuh,
Mung donya sing aku weruh,

Uripku aja nganti duwe mungsuh.

Ribang bumi ribang nyawa,
Ana beja ana cilaka,
Ana urip ana mati,
Precil mijet wohing ranti,
Seneng mesti susah,
Susah mesti seneng,
Aja seneng nek duwe,
Aja susah nek ora duwe.
Senenge saklentheng susahe sarendheng,
Susah jebule seneng,
Seneng jebule susah,
Sugih durung karuan seneng,
Ora duwe durung karuan susah,
Susah seneng ora bisa disawang,
Bisane mung dirasakake dhewe.
Kapiran kapirun sapi ora nuntun,
Urip aja mung nenuwun,
Yen sapimu masuk angin tambanana,
Jamune ulekan lombok,
Bawang uyah lan kecap,
Wetenge wedhakana parutan jahe,
Urip kudu nyambut gawe.
Pipi ngempong bokong,
Iki dhapur sampurnaning wong,
Yen ngelak ngombea,
Yen ngelih mangana,
Yen kesel ngasoa,
Yen ngantuk turua.
Pipi padha pipi,
Bokong padha bokong,
Pipi dudu bokong,
Onde-onde jemblem bakwan,
Urip iku pindha wong njajan,
Kabeh ora bisa dipangan,
Miliha sing bisa kepangan,
Mula elinga dhandhanggulane jajan.
Pipis kopyor sanggupira lunga ngaji,
Le ngaji nyang be jadah,
Gedang goreng iku rewange,
Kepethuk si alu-alu,
Nunggang dangglem nyengkelit lopis,
Utusane tuwan jenang,
Arso mbedhah ing mendhut,
Rame nggennya bandayudha,
Silih ungkih tan ana ngalah sawiji,
Patinira kecucuran.
Ki Daruna Ni Daruni,
Wis ya, aku bali menyang Giri,
Aku iki Kyai Petruk ratuning Merapi,
Lho ratu kok kadi pak tani?,

PANGERTEN UREP

Anane tak wenehi irah-irahan ‘ngelmu urip’ amarga ‘ngelmu Jawa’ iku pancadane babagan nglakoni urip tumraping manungsa ana ing ngalam donya. Fokus utamane tumuju nglakoni urip sing bener, becik lan pener murih bisa ‘titis ing pati’. ‘Titis ing pati’ iku ora ngrembuk suwarga lan neraka. Nanging luwih tumuju bisowa ngulihake sakabehing ‘unsur-unsur’ kang mangun wujuding ‘manungsa urip’ marang sumbere dhewe-dhewe kanthi sampurna. Sing saka unsur alam (geni, lemah, angin, banyu) bali marang sumber-sumbere kang ‘azali’. Sing saka cahya lan teja ya bali marang sumber azaline. Dene suksma (dzat urip, ruh) ya bali marang Suksma Kawekas (Guruning Ngadadi, Dzat Sejatining Urip). Wondene kang maune ‘wujud’ ninggala jeneng kang becik kang bisa tinulad dening turas (anak turune).
Amarga piwulange ngenani ‘ngelmu urip’, mulane piwulang Jawa luwih migatekake babagan urip bebarengan karo sakabehing titah. Kanyatan kang ora bisa dibantah, menawa manungsa ora bisa urip ijen, nanging kudu bebarengan karo manungsa liyane lan sakabehing titah kang manggon ing alam donya (Ngarcapada) kene iki. Holistik, mangkono anggone para ahli menehi tenger marang wawasan (falsafah) Jawa iki. Karepe, menawa sakabehing ‘kang ana’ ing alam semesta iki ana sesambungane sacara ‘kosmis-magis’. Kang mangkene iki tumrape wong Jawa sejatine wis mbalung sungsum dadi otot bayu. Karepe, wis dadi ‘naluri dasar’ kanggone wong Jawa.
Piwulang Jawa kang wujud ngelmu lan laku tumangkare wiwit saka sumber asal biyen-biyene nganti tumekane jaman saiki ora sarana anane ‘sistim pendidikan’. Mung sarana gethok tular ing antarane ‘sesepuh’ marang generasi bacute. Nanging pilih-pilih marang sing bisa
ditulari kawruh. Mulane saya auwe saya tipis lan terasing saka wong Jawa dhewe. Malah-malah saking ora ngertine lan kebacut nyecep kawruh saka kabudayan lan peradaban saka manca banjur nganggep ngelmu lan laku Jawa iku mung gegayutan karo olah kebatinan. Sing ekstrim banjur ngarani yen klenik, tahayul lan gugon tuhon.
Kemajuan jaman ing wektu iki ndadekake manungsa mundhak pinter lan mulur nalare. Mula yen ngadhepi bab-bab sing kurang ‘nalar’ padha ora tertarik. Kabeh-kabeh dianggep kudu logika penalaran kang klebu akal. Yen ora, dianggep omong kosong nggedebus adol abab. Apamaneh tuntutan kanggo ‘survive’ ing jaman saiki butuh ‘segala daya’. Genahe, wektu iki ana ‘pergerakan’ peradaban tumraping manungsa sak jagad. Owah-owahan kang dumadi rikat banget lan akeh wong sing ‘bengong’ semlengeren ora gaduk nalare kanggo ‘memahami’. Sing operasional kari ‘naluri defensif’ supaya tetep ‘survive’. Kabeh butuh urip kang underane (manut Wedhatama): kecukupan kebutuhan sandhang-pangan-papan (kerta utawa arta), kajen keringan ing tengahing bebrayan (wirya) lan pinunjul ngelmu lan kawruhe (winasis). Menawa salah siji bab tetelu mau ora diduweni banjur banget nisthane kang diupamakake ‘luwih aji godhong jati aking’. Senajan diskripsi underane kebutuhan urip wis cetha diterangake, nanging kanyatane ora saben uwong bisa nggayuh kanthi sampurna. Ing tengahing masyarakat ana sing sugih pol ning ya ana sing mlarat banget. Ana sing bisa dadi panutaning liyang (nggayuh kawiryan) nanging ana sing dadi ‘memalaning bebrayan’. Ana sing pinter, nanging ya akeh sing bodho lan bloon banget.
Kabeh prabedaning manungsa sing siji lan liyane kanyatane ana ing tenghing masyarakat. Mula ana ‘potensi ketegangan’ kang ora ana enteke.
Mbok menawa bae sakabehing ajaran agama lan ideologi kang lair ing donya iki salah siji tujuwane kanggo ngawekani murih rukune manungsa. Potensi ketegangan diredam nganggo hukum negara, adat, ajaran agama lan etika moral liyane. Semono uga ngelmu lan laku Jawa uga duwe tujuwan kanggo gawe tata tentrem kerta raharjaning bebrayan. Mung bae, cara Jawa iku lueih tumuju marang rekadaya nata ‘kesadaran’ batine manungsa katimbang gawe hukum-hukum kang ngatur tumindake saben manungsa ing bebrayane. Ya kanggo nata ‘kesadaran’ iku anane ngelmu lan laku ana ing piwulang Jawa. Pitakone, apa ngelmu lan laku Jawa isih relevan kanggo ngadhepi persoalan urip ing jaman globalisasi wektu iki ?
Nilai-nilai budaya lan peradabane manungsa pancen owah gingsir manut jaman kelakone. Ngelmu lan laku kang ana ing piwulang Jawa wernane akeh lan duwe piguna dhewe-dhewe. nanging umume, gunane kanggo kepentingan urip. Kamangka wateking manungsa urip uga werna-werna. Ana sing ‘becik-bener-pener’ kanggo kepentingane urip bebarengan, nanging ya akeh sing ‘ala-salah-ngawur’ sing ngrusak bebrayan. Anehe, kok ngelmu lan laku kanggo kekarone ya ana kabeh ing jagad Jawa. Kabeh pancadane kanggo sangu nglakoni urip. Kanthi mangkono pancen rada abot angone arep njlentrehake bab sakabehing ngelmu lan laku Jawa. Mulane, murih kepenake anggonku ngaturake ‘Ngelmu Urip’ ing postingan iki tak rujukake marang serat-serat kapujanggan kayadene Wulangreh, Wedhatama, lan liya-liyane. Muga-muga Gusti Kang Murbeng Dumadi ngeparengake.
Ngelmu Urip #2
Pancadane ‘Ngelmu Urip’ iku ‘eling’, yaiku eling marang ‘sejatining urip’ utawa ‘hakekating urip’ tumraping manungsa. Manungsa iku titah pinunjul katimbang titah liyane. Pinunjule amarga kaparingan ‘perangkat urip’ kang ana ing khasanah Jawa disebut ‘cipta-rasa-karsa’. Tinengeran ana ing aksara Jawa:
“ha-na-ca-ra-ka” kang tegese ‘utusan’ (hananira hananing Hyang) kang diparingi cipta (ca), rasa (ra), lan karsa (ka). Ya peparing ‘cipta-rasa-karsa’ iki kang mbedakake titah manungsa karo titah liyane.
Kang lumrah siklus urip kang dilakoni manungsa iku:
‘ana (lair) – dadi momongan wong tuwane – dhiwasa (bisa golek pangan dhewe) – kawin – duwe anak (momong) – ngentasake momongane – mati’. Siklus kang mangkene iki ora ming tumrape manungsa, nanging titah-titah liyane iya duwe siklus mangkene. Tegese, mung nglakoni naluri alamiah. Ora ngoperasionalake perangkat urip peparinging Gusti Kang Maha Kuwasa kang njalari manungsa iku disebut ‘titah utama’. Menawa miturut basa agama Islam manungsa iku dipapanake (diposisikan) dadi ‘Kalifatullah fil ardhi’, wakile utawa utusane Gusti Allah neng ngalam donya. Nangin perlu dieling-eling menawa manungsa kang bisa dadi utusan utawa wakile Gusti Allah iku cetha sing bisa ngoperasionalake ‘cipta-rasa-karsa’-ne kang jumbuh karo kersane Gusti Kang Murbeng Dumadi. Dudu sing mung operasional naluri alamiahe kaya kang tak aturake ing ndhuwur.
Kanggo bisa operasionalake ‘cipta-rasa-karsa’ dibutuhake ‘ngelmu’ lan ‘laku’. Ngelmune kanggo
mangerteni (memahami) babagan sejatining ‘cipta-rasa-karsa’ iku. Dene lakune kanggo mapanake pangerten ngelmu dadi watak-wantu. Menawa dirembuk nganggo basa Inggris ‘watak-wantu’ iku nglingkupi :
knowledge, attitude, skill, aptitude, lan habit kang bisa disingkat KASAH. Ya ing kene iki salah sijine cara kanggo mangerteni unen-unen “ngelmu iku kelakone kanthi laku”. Tegese: ngelmu iku bisa manjing dadi watak wantune manungsa manawa dikantheni laku. Gandheng ‘cipta-rasa-karsa’ iku manggone ana ing manungsa urip, mula ngelmune ya ngelmu urip, lakune ya laku nglakoni urip. Pitakonane, nek ana ‘ngelmu urip’, mesthine ya ana ‘ngelmu mati’. Pancen ya ana,
yaiku ‘ngelmu-ngelmu’ sing mentingake kanggo persiapan mati. Sakabehing dayaning urip kanggo persiapan mati. Ana kang ‘tata lair’, upamane petungan kanggo nyukupi kebutuhane ahli waris njur numpuk bandha kang perlu diwarisake. Ana kang ‘ranah kebatinan’, umpamane ngelmu ‘mati sajroning urip’ kang pakertine (cara nglakoni) kanthi nglereni obahing ‘cipta-rasa-karsa’. Yaiku tapa brata neng papan sepi nyingkir saka bebrayan (masyarakat).
Ngelmu sing kaya mangkono iku ora salah lan ora kleru. Amarga subyektif banget, kaitane karo ‘persepsi’ saben uwong babagan jejibahan urip kang beda-beda. Mulane ana ing khasanah Jawa, iya ana ngelmu-ngelmu sing mentingake ‘persiapan mati’ iku. Nyuwun pangapunten, babagan ‘ngelmu mati’ iki kareben diterangake sedulur liya sing luwih nguwasani. Jujur bae, KSM ora pati mudheng. Ngelmu urip iku ora mung ing babagan tata lair, nanging uga ana gegayutane karo kebatinan. Amarga manut filosofi Jawa, ana gegayutan (hubungan) ‘kosmis-magis’ ing antarane jagad cilik (manungsa urip) karo jagad gedhe (alam semesta). Pangertene ndudut saka ‘kawruh sangkan paraning dumadi’. Menawa manungsa urip iku kawangun saka unsur telung perkara, yaiku: materi (bumi lan langit), cahya lan teja, sarta suksma sejati (dzat urip, roh). Katelune unsur-unsur iku asale saka ‘Guruning Ngadadi’ kang uga disebut ‘Suksma Kawekas’, kang ora liy iya Gusti Kang Murbeng Dumadi sing dadi sesembahane sagunging titah dumadi. Kanthi andaran kasebut ing nduwur, filosofi Jawa kanyatane kanthi cetha wela-wela nerangake anane ‘Sesembahan’ kang disebut ‘Gusti Kang Murbeng Dumadi’, ‘Hyang Agung”, ‘Hyang Suksma Kawekas’, ‘Guruning Ngadadi’ lan sebutan-sebutan liyane kang akeh banget cacahe. Panjenengane R. Ng. Ranggawarsita ngumpulake sesebutan tumrap ‘Sesembahan’ Jawa iku ana ing seratane, ‘Paramayoga’.
Ngelmu Urip #3
Pokok baku dhedhasarane ‘ngelmu urip” iku ana 3 (telung) prekara : 1) kesadaran anane Sesembahan (keber-Tuhan-an, 2) kesadaran kesemestaan (hubungan kosmis-magis jagad cilik lan jagad gedhe), 3) kesadaran kautamaning urip (keberadaban). Katelune ora bisa mlaku dhewe-dhewe, nanging kudu nyawiji dadi sawijining pangerten (kawruh). Lumrahe padha diarani ‘Kawruh Kejawen’.
Aturku ing ndhuwur iku minangka pambukaning pangerten menawa ‘Kawruh Kejawen’ iku sawijining kawruh babagan ‘Sejatining Urip’ utawa ‘Hakekating Urip’. Dudu ajaran agama, wong ora duwe ‘kitab suci’ lan ‘nabi’ (utusan) kang piniji Gusti kanggo mulang-muruk manungsa kaya salumrahe ‘definisi’ agama.
Kawruh Kejawen pancadane saka olah ‘cipta-rasa-karsa’ para empu lan pujangga Jawa (para jenius Jawa) wiwit jaman prasejarah nganti tumekaning peradaban lan kabudayan kang nga-Jawa. Ing kene banjur ana sintesa, asimilasi lan hybrid ing antarane pangerten-pangerten Jawa karo nilai-nilai budaya lan peradaban (klebu pangerten agama) sing tumeka ing tanah Jawa. Senajan ana sinergi lan sinkretisme, nanging pokok baku pancadane Kawruh Kejawen 3 (telung) perkara kasebut ing ndhuwur ora ilang lan kesilep, amarga mapan manggon ana ing bab ‘sejatining urip’. Bisa uga, malah aweh jembaring pangerten (melengkapi pemahaman) ajaran-ajaran agama. Nanging perkara iki becike ora digawe rembuk, amarga njur mlebu ana ing ‘Ilmu Perbandingan Agama’ kaya kang diwulangake ing perguruan-perguruan agama. Kang tak aturake mligi ‘konsep-konsep pandangan Jawa’, supaya bisa dimangerteni dening bebrayan masyarakat kareben ora ‘salah paham’.
Ana ing jagad ngelmune wong Jawa, ana kang disebut Kawruh Kasampurnan. Yaiku sawijining ngelmu kanggo nggayuh kasampurnaning urip. Kang dikarepake ‘urip sampurna’ iku nglingkupi tata lair lan kebatinan. Ing tata lair wis kacetha kaya kang disebut ing Wedhatama: “wirya arta tri winasis”. Kajen keringan, cukup sandhang pangan papan, lan pinunjul ing kapinterane. Dene ing babagan ‘kebatinan’ sing dikarepake ‘urip sempurna’ iku lamun bisa ‘titis ing pati’. Yaiku bisa ngulihake (mbalekake) kanthi sampurna sakabehing ‘gadhuhan’ marang sing kagungan. Menawa wujude manungsa urip iku kedadeyan saka unsur-unsur: bumi langit, cahya lan teja, sarta dzat urip (suksma, roh), sempurnane menawa bisa ngulihake unsur-unsur mau marang sumbere dhewe-dhewe.
Unsur materi saka bumi lan langit sarta unsur cahya lan teja, bisa bali sampurna nalikane manungsa mati (pishing raga lan suksma). Nanging baline dzat urip (roh, suksma) marang Dzat Sejatining Urip, angel bisane sampurna. Manut keterangan ing kawruh sangkan paran (Wedaran Sang Wiku), angel sampunane iku jalaran ‘dzat urip’ wis suda kasuciane. Sudane amarga kawoworan rereged saka asiling pakerti nalika nglakoni urip. Uga saka jalaran durung rampung anggone netepi wajib nindakake sabda dhawuhing Gusti Kang Maha Kuwasa. Akeh-akehe padha leren ana ing ‘alam pangrantunan’ (suwarga pangrantunan). Utawa malah kesasar ana ing alaming lelembut, alaming sato kewan, utawa kesangsang dadi dhanyang neng kayu lan watu.
Gandheng bisa sampurna loan orane ‘dzat urip’ (suksma) bali marang sumbere (Dzat Sejatining Urip, Suksma Kawekas, Guruning Ngadadi) gumantung saka pakerti nalika nglakoni urip neng ngalam donya, mula banjur ana paugeran-paugeran kang tumuju marang kasampurnaning urip iku. Iya ing kene iki ‘ngelmu urip’ kang dirembuk iki ana tegese.
Ngelmu Urip #4
Menawa manungsa urip ijen, sejatine ora butuh ilmu lan ngelmu. Cukup naluri alamiahe wae. Nanging nalika urip bebarengan karo manungsa liyane lan karo titah dumadi liyane dibutuhake ilmu lan ngelmu. Dadine, ngelmu urip iku lumakune kanggo nuntun manungsa nglakoni urip bebarengan ing ngalam donya.
Ilmu iku ngoperasionalake nalar utawa cipta, dene ngelmu sing dioperasionalake cipta-rasa-karsa. Mula ya beda tatacarane ngudi antarane ilmu lan ngelmu. Menawa ngudi ilmu iku lumrahe saka sekolahan lan pawiyatan-pawiyatan, dene ngudi ngelmu ora cukup semono, nanging kudu disranani laku murih bisa manjing ing sajroning batin.
Ana ing khasanah Jawa kang luwih diudi iku ‘ngelmu’, mulane kadhang kala lumrahe wong Jawa iku sok diarani ‘bodho’ ana ing ‘ilmu pengetahuan’. Keladuking panganggep, Jawa iku kakehan klenik lan gugon tuhon. Rumit, mbulet, angel dinalar, lan ora duwe ‘greget’ pepinginan marang kemajuwan. Sing diudi mung kasekten lan tapa brata.
Panganggep sing mangkono iku pancene ada alasane. Contone, bisa gawe candhi Borobudur apadene Prambanan sing cetha butuh ilmu pengetahuan werna-werna tingkat tinggi, nanging kanyatane ora marisake ilmu matematika, ilmu fisika, mekanika, lan ilmu pengetahuan liyane. Kamangka lagi milih panggonan kanggo ngedegake candhi-cndhi iku wae wis kabukten pener banget. Uga ing babagan kalender (almanak) sing njlimet nganti bisa nemtokake wektu kang akurasine luar biasa, nanging kok ora ana tinggalan bab angka-angka pangetunge. Manut ngendikane para pakar, menawa ing bab petungan (ping, para, lan, suda, kuwadrat, lsp.) wong Jawa nganggo cara ‘awangan’. Panemu mangkene iki bisa uga pancen bener. Jalaran operasionale ‘cipta-rasa-karsa’ iku mapan manggon ing ‘daya spiritual’ kang diduweni manungsa. Ora bisa ditulis kayadene ilmu-ilmune wong Barat.
Ora beda karo ilmu nalar, ngelmu ‘cipta-rasa-karsa’ uga ana tataran cendhek lan dhuwure. Ana manungsa kang nalare dhedhel sing bodhone ora karu-karuwan, pijer nunggak sing sekolah. Semono uga ing bab ngelmu ‘cipta-rasa-karsa’ ya ana sing maju lan ana singsendhet ora mundhak babar bisan senajan wis meguru neng pirang-pirang para sepuh. Malah-malah wis nglakoni laku pirang-pirang werna uga ora ana kaundhakane.
Akeh-akehe padha nganggep menawa ngudi ngelmu ‘cipta-rasa-karsa’ iku padha karo wong ngudi ilmu pengetahuan. Bakune karep sing kenceng thok. Kamangka banget bedane. Menawa ngudi ilmu sing dibutuhake pancen ‘kekarepan’ utawa ‘cita-cita’ (semangat). Dene ngudi ngelmu sing dibutuhake malah menebake ‘kekarepan’ murih bisa ‘ênêng’ lan ‘êning’. Bisane ‘ênêng’ lan ‘êning’ iku disranani ‘laku’ lan butuh ‘kas kang nyantosani setya budya pangekesing dur angkara’ (niat kang mantep nduweni budi luhur). Dadine, kang luwih dhisik kudu diduweni kanggo ngudi ngelmu iku ‘budi luhur’.
Ngudi ngelmu ora bisa menawa mung kanggo ‘pelarian’ jalaran semplah kelangan semangat ngadhepi urip. Upamane, rekasa golek pegaweyan (golek sandhang pangan) njur nekuni ‘ngelmu kebatinan’. Panganggepe, nek wis nglakoni ‘lakubrata’ werna-werna njur gampang entuk pegaweyan utawa gampang rejekine. Modhel pelarian sing kaya mangkene iki akeh banget tinemu ing tengahing bebrayan.
Salah kaprah panemu liyane, ‘ngelmu’ iku bisa kanggo mrantasi pirang-pirang perkara. Ing antarane kanggo nylametake dhiri saka tumindak salah lan ala. Upamane, murih ora kena ‘jerat hukum’ sawise korupsi njur nglakoni ‘lakubrata’ utawa golek ‘backing spiritual’ marang ‘sesepuh’. mBok menawa wae pancen ana kasekten-kasekten sing bisa kanggo kepentingan kang mangkono. Nanging kasekten kang mangkono iku dudu ‘ngelmu urip’ kang ‘bener-becik-pener’. Ana ing Wedhatama, kasekten jinis mangkono iku diarani ‘ngelmu karang’. Kekerane (kekuwatane) saka asile kekarangan (bersekutu) karo bangsaning gaib. Ora rumasuk jroning
daging (ora manjing ing jroning batin). Ngibarate mung manggon ing kulit kayadene boreh (wedhak pupur) alias apus-apus utawa palsu. Mula ora bisa diandelake kanggo nglakoni urip kang ‘bener-becik-pener’. Ewa semono, kanyatane ing tengahing bebrayan akeh pawongan kang bebudene seneng golek gampang. Samubarang apa wae dianggep bisa diprantasi nganggo kekuwatan spiritual silihan saka bangsaning gaib mau.
Ngelmu Urip #5
Budi Luhur minangka dhedhasarane ‘ngelmu urip’. Ajaran Jawa nduweni konsep menawa urip bebarengan iku kudu tata (tertib), tentrem (aman tenteram), kerta (makmur) lan raharja (sejahtera). Bisane wujud menawa para manungsane iku nduweni budi luhur. Murih bisa duwe budi luhur kudu nyecep ‘piwulang kautaman’.
Apa wae sing diwulangake ing ‘piwulang kautaman’ iku ngandhut ‘kawruh’ lan ‘laku’. Tegese ora mung bisa ngerti bab kawruhe, nanging uga kudu dilakoni apa kang diwulangake. Babon baku piwulang kautaman mulangake kawruh murih manungsa padha ‘eling’ marang kajatene. Yaiku titah kang diparingi kaluwihan wujud ‘cipta-rasa-karsa’. Mula kaelingan sing ‘bener-becik-pener’ yaiku :
1. Eling menawa dadi titahing Gusti (Sangkan Paran, Manunggaling Kawula Gusti).
2. Eling menawa dititahake manggon ing planet bumi kang ora ijen anane, nanging minangka bagian cilik saka ‘alam semesta’. (Jumbuhing jagad cilik lan jagad gedhe).
3. Eling marang peparing ‘cipta-rasa-karsa’ kang ukurane manungsa kudu ‘beradab’.
4. Eling manwa kudu tansah ngutamakake kerukunan karo manungsa liyane lan titahe Gusti liyane.
5. Eling menawa kudu tansah njaga ‘keselarasan’ (kemarmonisan): melu memayu hayuning bawana.
Dhasaring laku diarani ‘Panca Brata’, yaiku lakubrata kanggo nguripake (ngoperasionalake) ‘cipta-rasa-karsa’, yaiku:
1. Nglatih bisane nduweni watak ‘narima’, disranani laku kanthi ngengurangi mangan lan ngombe. Umpamane laku pasa, mutih, ngrowot lan sapiturute. Bedane pasa ing laku Jawa karo pasa tumrape ibadah agama, yaiku ana ing tujuwane. Nek pasa cara agama kanggo nggayuh suwarga, dene pasa laku Jawa amung kanggo nglatih bisane duwe watak narima. Ewa semono, kanyatane luwih abot syarat-syarate. Ing antarane, senajan bisa pasa sedina nutug, nanging yen ing batin isih durung bisa nrimakake pangan lan ngombe saanane nalika ‘buka’ bakal njugarake gegayuhan. Ora bisa kanggonan watak ‘anarima’. Selagine kanggonan watak anarima wae ora bisa, lha kok kepingin nggayuh suwarga mesthi tangeh lamun.
2. Nglatih bisane tansah ‘eling’, disranani ngengurangi sare (turu). Syarate, anggone melek ora kena disambi apa wae. Apamaneh dislamur nganggo dolanan kertu utawa jagongan gayeng karo para kanca. Kang ditindakake, melek lan tansah eling marang kajatene manungsa.
3. Nglatih urip kang tata utawa tertib, disranani laku ngengurangi sanggama. Nanging anggone ngurangi kudu kanthi pangerten babagan sanggama kang sejatine. Yaiku pangerten sanggama kang gegandhengan karo ‘titising wiji’ kang mahanani ‘rasa sejati’. Yaiku ‘rasa nikmat mulya’ kang ditampa manungsa nalika dadi saranane Gusti nyipta manungsa anyar. Rasa nikmat mulyane sanggama kang bisa nitisake wiji, dudu nikmat sanggama kang lumrah amung nuruti derenging birahi. Kanthi mangkono, sing dikurangi iku sanggama kang mung mburu kanikmataning birahi.
4. Nglatih kesabaran, disranani kanthi laku ‘ora kena nesu’. Mula kang becik iku laku: “ing siyang ratri tansah amamangun karyenak tyasing sesama”.
5. Nglatih panalangsa utawa pasrah sakabehane marang Gusti Kang Maha Kuwasa. Srana lakune ‘mbisu’. Nanging ora mung ora guneman thok. Ing jroning batin tansah ngulati mobah-mosiking ati. Iya obah osiking ati iku kang bisa uga mujudake wisik utawa dhawuhing Gusti marang kita sowang-sowang (dhewe-dhewe). Bisane dimangerteni kudu dipêndêng utawa mêlêng temenan. Mêndêng utawa mêlêng ora bisa kelakon yen sinambi ngendika utawa omong-omong. Wohing pasrah iku antuk wisik utawa ‘sabda dhawuh’ kang nuntun marang bebener, kabecikan sing pener.
Ngelmu Urip # 6
Filosofi Jawa mulangake menawa manungsa iku duwe sedulur-sedulur gaib kang njangkungi uripe, yaiku:
1. Sedulur Marmarti, kedadeyan saka rasa kumesaring ati lan ngemar-emari awake biyung (ibu) nalika arep nglairake.
2. Sedulur papat, yaiku rohe kawah (ketuban), ari-ari, getih, lan puser.
3. Sedulur tungal dina kelairan, yaiku sakabehing anake titah dumadi kang bareng dina laire utawa kedadeyane.
Filosofi Jawa iki pancen akeh sing ora percaya apa maneh mudheng karo karepe. Jalaran pancen arang kang kersa nerangake lan njlentrehake kanthi wijang. Embuh marga ora ngerti apa pancen angel dudutane. Kamangka sejatine baku banget kanggone ngelmu urip. Jalaran kanthi cetha mulangake bab hubungan kosmis-magis antarane jagad cilik (manungsa) karo jagad gedhe (alam semesta).
Sedulur marmarti maringi pangerten bab sesambungan lair batine anak karo biyung kandhunge munggahe marang para leluhure. Sedulur papat (kalima pancer) nerangake menawa roh (suksma)-ne manungsa iku ‘wujud hubungan inti-plasma’. Pancer sing dadi ‘inti’, dene sedulur papat ‘plasma’-ne. Dene anane sedulur tunggal dina kelairan, mulangake menawa sakabehing kang ana ing alam semesta iki ‘manunggal’.
Miturut Kejawen, alam donya (ngarcapada) kang dipanggoni manungsa urip iki sejatine phase lanjutane alam kandhutane biyung. Nalika ing jero kandhutan, sing ngreksa urip lan dadi piranti sesambungane janin karo anggane biyung wujud ‘kawah, ari-ari, getih lan puser’, mula nalika urip ing ngarcapada iya rohe ‘kawah, ari-ari, getih lan puser’ sing ngreksa lan dadi ‘tali gaibe’ manungsa urip karo alam ngarcapada (donya).
Anane sedulur tunggal dina kelairan nerangake bab ‘panunggalan’, sakabehing kang gumelar ing jagad iki miturut kepercayaan Jawa, manunggal utawa nyawiji. Kawangun kanthi hubungan kosmis-magis ‘inti-plasma’: “Manunggaling Kawula Gusti”. Kawula plasma, dene Gusti (Sesembahan) minangka ‘inti’. Sesembahan iku ora mung duwekke manungsa, nanging uga sesembahane sakabehing titah dumadi. Mula konsep Jawa nyedulurake sakabehing ‘titah’. Ora ana memungsuhan ing antarane titah. Kabeh duwe kewajiban ‘nyangga’ maujude panunggalan.
Gandheng kapercayaan anane sedulur gaib tumraping manungsa iku banget kanggone ngelmu urip, mula ana ritual Jawa kang khusus kanggo ‘memule’ anane sedulur gaib iku. Memule dudu pekerti nyembah, nanging mung mulyakake lan ngelingi anane. Yaiku eling marang ‘hubungan gaib’ dhirine manungsa karo alam semesta sak isine. Suksmane manungsa ora mung nguripi, nanging uga ngreksa lan ‘adeg’ sesambungan karo suksmane sakabehing titah dumadi liyane.
Bisa uga pangerten iki ora nyambung karo ajaran agama. Mula banjur akeh kang ora mathuk lan keladuke malah nganggep menawa memule sedulur gaib dianggep bersekutu karo setan. Ya sumangga wae, pancen kapercayan Jawa ngono anane. Dipercaya kena, ora percaya inggih kenging kemawon. Dilaras lan dinalar dhewe-dhewe sing kepenak wae.
Ritual utawa laku kanggo memule sedulur gaib werna-werna. Gumantung marang abot enthenge jejibahan uripe dhewe-dhewe. Sing kuwagang lan duwe penggayuh dhuwur mesthine ya nganggo laku sing abot. Dene sing trima lugu lan sanane, lakune ya sing entheng-enthengan. Sing abot ya laku Pancabrata saben wetonane dhewe-dhewe. Dene sing entheng wujud sesaji ing saben dina wetonan kelairane dhewe-dhewe. Sing ora sreg karo sesaji, nindakake pasa saben wetonane dhewe-dhewe.
Njur pikolehe apa? Mangkono pitakonan kang asring tak tampa. Gandheng bab iki nyangkut kapercayan, mula pikolehe ya dirasakake karo sing nglakoni. Sing percaya lan gelem nglakoni mesthine ya bisa ngrasakake oleh-olehane. Dene sing ora percaya mesthine ya ora gelem nglakoni, mula ya ora bisa ngrasakake oleh-olehane. Sing kudu dieling-eling, saben laku iku kudu disranani tekad sing mantep, ora kena gamang utawa was-was. Sumangga.
Ngelmu Urip #7
Sedulur gaib manut ajaran Jawa (marmarti, sedulur papat kalima pancer, lan sedulur tunggal dina
kelairan) konteks pengertiane anane hubungan kosmis-magis jagad cilik lan jagad gedhe. Tegese,
adege manungsa urip iku duwe sesambungan karo jagad saiisine tata lair lan spirituil. Pangerten kesadaran kesemestaan lan holistik mangkene iki baku banget kanggo mangerteni lan nindakake ‘ngelmu urip’ kanggo nggayuh katentreman lan kamulyan. Tentrem lan mulya kanggo pribadi lan bebrayan tumekaning hayining bawana (jagad).
Paugeran urip mungguhing wong Jawa normatif uga kudu didhasari kesadaran kesemestaan. Mula ranah budaya lan peradaban Jawa mlakune ora ninggal kesadaran kesemestaan iki. Prasasat ora ana ‘kepentingan individu’ tumrape para empu/pujangga/sarjana sujana anggone ngripta lan nyipta ‘seni budaya’ Jawa. Contone, kaloka dikayangapa gendhing ‘Ketawang Puspawarna’, kanyatane ora dipatenake lan nalika diproduksi wujud rekaman ora ana tuntutan ‘royalty’ saka kang nyipta utawa ahli warise. Ing kene iki katon banget menawa ‘profesionalisme’ Jawa ora gegayutan karo materi lan komersialisme, nanging wujud ‘persembahan’ tumuju marang hayuning bebrayan. Adoh banget karo model Barat kang sarwa komersiil lan materialisme. Kabeh mau amarga kang wus ngrasuk Kejawen kanthi ‘bener-becik-pener’ pancen wus kagungan
‘kesadaran panunggalan’ kang dhuwur tingkatane. Uripe dipasrahake kanggo ‘ngawula kawulaning Gusti’. Emane, amung sethithik manungsa kang bisa kanggonan ‘kesadaran panunggalan’ iki. Nanging, senajan sethithik dibutuhake kanggo aweh ‘pencerahan’ marang manungsa liyane.
Banget sing mumet nalika diparingi piwulang bab ‘kesadaran kosmis’ iki. Amarga istilahe medeni banget, “Manunggaling Kawula Gusti”. Terus carane mulang tansah ana ing ranah spirituil sing lakune jan abot temenan. Ing antarane ana laku bisane ketemu karo para ‘sedulur papat’ kang digambarake madha rupa karo awake dhewe mung beda cahyane. Ing kene iki KSM
ngaku blaka menawa gagal. Malah njur gumun dene kanca-kanca sing bareng sinau, jarene kasil bisa ketemu. Embuh kanyatane, amarga sing ngerti lan pana temenan ya sing nglakoni. Ing batin KSM ngudarasa, “Kanggo apa menawa wis bisa ketemu sedulur gaibe dhewe? “
Ana sesepuh kang paring pangandikan menawa ‘sedulur papat’ iku sejatine padha karo ‘empat nafsu’ (Amarah, Luamah, Sufiah lan Mutmainah). Nanging KSM tambah bingung maneh. Lha wong sing dingerteni ‘sedulur papat’ iku rohe ‘kawah-aruman (ari-ari)-getih-puser’ kok njur dipadhakake karo ‘empat nafsu dasare manusia hidup’, kepriye anggone nyambungake pangertene? Luwih kodheng maneh nalika entuk keterangan ing ‘Layang Djojoboyo’ menawa kang disebut sedulur spirituale manungsa (cacahe papat) jenenge: Jâbârâlâ, Mâkâhâlâ, Hâjârâlâ, lan Hâsârâpâlâ. Kapapate utusane Gusti Kang Maha Kuwasa kang ing khasanah agama-agama saka Timur Tengah disebut Malaikat. Bisa ditarik kesimpulan mengkono jalaran jenenge utusan kasebut persis basa nglegena asmane Malaikat ing ranah agama Islam: Jibril, Mikail, Ijroil, lan Ishrofil.
Ing ranah ajaran Jawa ora ana diskripsi ngenani anane ‘malaikat’ lan ‘setan’. Amarga dasare ‘filosofi panunggalan’ kang nerangake menawa kabeh kang ana ing jagad gumelar iki mujudake ‘Kesatuan Tunggal Semesta’. Manunggaling kawula Gusti, nerangake menawa sing disebut ‘utusan’ iku ora liya ya suksma sejatine manungsa dhewe. Wondene suksma sejati iku derivasine
‘Suksma Kawekas (Guruning Ngadadi, Hyang Agung, Hyang Widdhi, Gusti Allah).
Wacana ing ndhuwur iku tak aturake murih para kadang kang kepingin ngudi ‘nglemu urip’ bisa mudheng temenan sesambungane sedulur gaibe manungsa karo ‘ngelmu urip’. Uga aja nganti ‘wor suh’ karo pangerten-pangerten ‘ajaran agama’. Ngerti bedane lan diskripsine murih bisa ndudut hikmahe lan bisa milih lan milah kanthi becik, bener, lan pener. Bakune, ‘ngelmu urip’ iku tuntunan nglakoni urip cara Jawa. Sinebut ing Wedhatama: “mrih kretarta pakartining ngelmu luhung kang tumrap ing tanah Jawi”. Manungsa iku amung ‘kawula’ utawa ‘titah’ kang duwe kewajiban ‘memayu hayuning alam semesta’. Dene ‘titah’ iku ora mung manungsa thok, lan kabeh padha kaparingan kewajiban sing padha “memayu hayuning bawana (alam semesta)”. Iya kesadaran dasar ngrumangsani dadi titah kang wajib memayu hayuning bawana iku pancadan baku ‘ngelmu urip’. Kesadaran iki kang disebut ‘ngelmu luhung’ ing Wedhatama kasebut ndhuwur.
Ngelmu Urip #8
Ditelisik lan dionceki sing nganti jero, filosofi Jawa iku mulangake menawa sakabehing kang ana (dumadi) iku ‘manunggal’. Panunggalane sinebut ing unen-unen: ‘Manunggaling Kawula Gusti’. Menawa diistilahake nganggo basa Indonesia: ‘Maha Kesatuan Tunggal Semesta’.
Nanging perlu dimangerteni uga menawa ana ing jagad ngelmu kebatinan, ‘Manunggaling Kawula Gusti’ mujudake tataran makrifat kang paling dhuwur dhewe. Yaiku tingkat kesadaran batin kang wus tekan ‘jumbuhing’ kawula lan Gusti. Tegese kang gampang dimangerteni awam yaiku tataran kebatinan kang wis mangerteni ‘sejatining urip’ utawa ‘hakekating urip’. Mengerteni ‘sejatining urip’ iku kang dikarepake bisa nggayuh ‘Kawruh Kasampurnan’. Magerti wajibing kawula (titah):
1. Marang Gustine (Sesembahane).
2. Marang sesamaning titah manungsa.
3. Marang jagad saisine.
Pepunthoning pangerten werna telu kasebut ndhuwur ora wurunga uga tekan marang kesadaran panunggalan. ‘Sakabehing kang ana iku manunggal’. Wondene gegambarane panunggalan iku sinebut ing unen-unen ‘kadya kembang lan cangkoke’ utawa ‘kadya sesotya lan embanane’. Menawa nganggo istilah moderen kadidene hubungan ‘inti’ lan ‘plasma’. Gusti kang dadi intine,
dene kawula dadi plasmane.
Struktur hubungan inti pancer, jawa lan plasma (macapat, jawa) kanyatane dadi lelandhesane sakabehing ‘ide-ide’ ing jagad Jawa Contone, ‘roh alam semesta’ disebut ‘Hyang Manikmaya’. Hyang Manik minangka inti, dene Hyang Maya dadi plasmane. Ing pewayangan Hyang Manik disebut uga Sang Hyang Jagad Girinata utawa Bathara Guru. Dene Hyang Maya disebut Hyang Ismaya utawa Hyang Taya alias Semar. Conto liyane, rohe manungsa disebut ‘Pancer lan Sedulur Papat’, ‘Pancer’ dadi inti lan ‘Sedulur Papat’ dadi plasmane. Ide sistim ‘pancer-mancapat’ uga dipigunakake kanggo ngadegake negara, mangun desa, percandian, keraton, kutha-kutha, persawahan, gawe giliran pasaran (ekonomi) tumekane gawe tumpeng sesaji. Dadi cethane, menawa ing jagading ilmu pengetahuan ditemokake sistim inti-plasma (pancer-mancapat) wiwit anane renaisans ing Eropa, Jawa wis mraktekake wiwit jaman kuna makuthi.
Kang bisa kanggo conto, ide ‘pancer-mancapat’ Jawa babagan adeg negara. Kang dadi pancer (inti, Gusti) yaiku ide (cita-cita, gegayuhan) didegake negara kang sinebut ing janturan/suluk pedalangan: “Negari adi dasa purwa, panjang-punjung pasir wukir gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja”. Dene sakabehing warga negara tanpa mbedak-mbedakake antarane rakyat jelata lan pemimpin dadi mancapat (plasma, kawula). Kewajibane kawula negara njaga lan nyengkuyung madege negara. Nanging kanyatane, wiwit jaman kerajaan-kerajaan tumekane jaman republik wektu iki, ide ‘pancer-mancapat’ babagan kenegaraan dienggokake. Raja (pemimpin) dadi pancer (gusti, inti) dene rakyat dadi mancapat (kawula, plasma). Wusanane ide Jawa kang ‘adiluhung’ owah dadi sistim feodalisme kang kebak KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).
Owahe sistim peradaban adiluhung Jawa dadi feodalisme wis lumaku atusan taun. Kawiwitan nalika mlebune budaya lan peradaban saka Asia Daratan. Mlebune budaya lan peradaban India kang ngenalake sistim kerajaan lan kasta liwat (numpang) agama Hindu lan Budha. Diterusake lumebune budaya lan peradaban Timur Tengah liwat lumebune agama Islam kang ngenalake sistim pemusatan kekuasaan (Imperium Turki lan Kekuasaan Ulama Mekah). Sabanjure lumebune penjajahan Landa kang ndadekake warga pribumi kelas telu, warga asing Asia (China, Arab, India, lsp.) kelas loro, dene wong Landa (Eropa) kelas sijine.
Pribumi Jawa dening para penjajah asing dianggep kelas batur lan jongos. Marang wong Landa (Eropa) kudu nyebut ‘ndârâ tuwan’, marang wong China nyebut ‘yuk’ lan marang wong Arab nyebut ‘ayik’. Sebutan kabeh mau nandhakake menawa wong Jawa drajate asor. Ora kepenake maneh, para wong asing sing neneka neng Jawa padha nganggep wewatekane wong Jawa:
‘nyadhong-nggemblong-nyolong-nggarong’. Awake dhewe, wong Jawa, mesthine suthik ora trima dianggep asor mengkono. Lha wong budayane ‘adiluhung’ kok dianggep duwe wewatekan: ‘nyadhong’ (mandho, ngemis, njaluk suap), ‘nggemblong’ (nglengket neng panguwasa lan sing duwe dhuwit ben entuk cipratan rejeki), ‘nyolong’ (ngunthet, korupsi kelas cilik-cilikan), ‘nggarong’ (ngrampok bandhane negara, gawe proyek fiktif nggo ngentekne anggaran, lsp.).
Nah, sok sintena kemawon menawa kepingin ngudi ‘ngelmu urip’ kang ‘bener-becik-pener’ kudu bisa ngilangi wewatekan ‘nyadhong-nggemblong-nyolong-nggarong’ luwih dhisik.
Ngelmu Urip #9
Ajaran Jawa akeh sing nganggep aliran kebatinan utawa aliran kepercayaan. Banjur saka kalangan agamawan dianggep ajaran kang durung mateng kang perlu dimatengake murih slamet ing ngalam akherat mbesuke. Alasan utamane, ajaran Jawa ora duwe kitab suci kayadene ajaran agama. Wusanane akeh panganggep menawa ajaran Jawa amung dianggep gaweyane manungsa kang ora bisa dianggo pandoming urip. KSM uga duwe penganggep mangkono dhek isih enom nganti umur seket. Lha wis, saben ketemu sesepuh Jawa ora nate entuk keterangan kang maremake bab ‘kitab suci’ lan ‘utusan’. Kamangka para sepuh sing tak temoni padha ngendika menawa sing digilut iku ‘Agama Budi’. Dene keterangan bab kepriye sing dikersakake ‘Agama Budi’ iku, wangsulane mbulet angel tak tampa. Gandheng senengane ngayam wana nemoni para sepuh lan ngulama, KSM entuk tepungan Kyai Bahrul Rondhi ing tlatah Jepara ing taun 1991. Mas Kyai iki dening para ulama dianggep ‘sesat’ jalaran mulangake kebatinan Islam campur Kejawen.
Ora marga kepilut karo ajarane, nanging kang penting tak critakake neng kene, amarga Mas Kyai ngendika menawa panjenengane asring ditekani ‘kitab gaib’ ing saben semedi. Mas Kyai aweh bukti anggone nulis (ngutip) kitab gaib kang ngatoni panjenengane. Asil penulise iku kang ditontonake marang KSM. Wujude tulisan Arab Pegon kang KSM babar pisan ora bisa maca. Mas Kyai njur macakake sak kalimat tulisane: “Hananira sejatining wahananing Hyang”.
Lho kok basa Jawa, mengkono pangudarasane KSM. Lelakon sabanjure, KSM tuku buku karangane Ir. Sri Mulyono, “Apa dan Siapa Semar ?”. Ing bukune iku dikutipake ‘Filsafat Nusantara’ kang isine filosofi aksara Jawa ‘ha-na-ca-ra-ka’. Kalimat filosofi aksara (ha) unine: “Hananira sejatining wahananing Hyang”.
Persis karo kalimat ing kitab gaib Arab Pegon sing nemoni Kyai Rondhi. KSM bisane mung gumun, amarga ngakoni menawa ora duwe kabisan spiritual kanggo golek wangsulan kang gumathok. Ya mung ana pengaruh gedhe kang mlebu ing batin, menawa Carakan Aksara Jawa iku ngemot ajaran teologi Jawa. Kodhenge, kok ing aksara Arab Pegon ya ana tur gaib pisan, iki kepriye larah-larahe.
Ya embuh kepriye kersane Gusti Kang Maha Wikan, lelakone KSM isih berlanjut. Nalikane KDP mulih saka Jepang (taun ?) ngajak KSM gresek buku neng lowakan mburi Sriwedari Solo. Entuk fotocopian Kitab Darmagandhul, Gatholoco lan Walisana. KDP sing maca kitab-kitab mau nganti kepingkel-pingkel gumun karo krenahe pujangga sing ngarang. Lha wong isine kawruh kang jero lan luhur kok dikemas nganggo crita porno saru banget senajan wujude sastra tembang. Saya kepingkel-pingkel KDP nalika maca angele Prabu Brawijaya arep pindhah agama. Saka Agama Budi menyang Agama Islam. Bab kepingkel-pingkele KDP kareben adhi ragilku iku sing crita. Nek KSM pancen ora prigel ngguyu lan geguyon, bisane mung mesem rada nyureng serius.
Nyureng seriuse KSM jalaran maca kitab Darmagandhul pupuh Megatruh kang ngrembuk ‘Sastra Urip’, sebutane Ki Pujangga kanggo ‘ngelmune Gusti Allah’. Mangga tak kutipake sethithik :
1. Sastraning Hyang mung sagulma cacahipun, pinencar ngebeki bumi, dadine saking sabda kun, aranira Sastra Urip, binagi dadi sawiyos.
2. Kang rumiyin Sastra Rancang aranipun, kangge miyat sira kadim, ana aran tanpa wujud, wujude ginelar sepi, arane cinancang batos.
3. Sastra Swarawangsit kaping kalihipun, ginadhuhke marang peksi, kang urip ing dharat laut, sikap peksi duwe uni, unine wangsit pasemon.
4. Saunine iku sabdane Hyang Agung, peksi amung darma angling, dhawuh enget eling pemut, sasmita kang elok gaib, kang ngreti wong ahli kawroh.
5. Sastra Arja Ayuningrat kaping telu, tanpa papan kretas mangsi, sastrane nglimput jro wujud, sipat wujud duwe nami, namane mawa pangretos.
6. Sastra Endraprawata kaping patipun, dadi saking anggit janmi, kalam lantaraning wujud, cinorek ing dluwang mangsi, kang kena dinulu mring wong.
7. Mata loro melolo kinarya ndulu, sipat janma doyan kuldi, manut cara bangsanipun, yen marsudi kawruh budi, sayekti bisa mangretos.
Ngelmu Urip #10
Miturut ngendikane pujangga kang ngripta Serat Darmagandhul (Ki Kalamwadi), sastra suci (firman, sabda dhawuh) saka Gusti Kang Maha Agung iku tunggal sumebar sak jagad, arane Sastra Urip, kaperang ing tataran tumurune, bawarasane KSM:
1. Kang sepisan disebut Sastra Rancang, sastra kang nglimputi sakabehing titah urip (kadim).
2. Kapindho sinebut Sastra Swarawangsit, wujude unine manuk. Unine manuk iku sabdane Hyang Agung, manuk amung darma ngelingake dhawuh sasmita elok gaibe Hyang marang sakabehing titah dumadi.
3. Katelu, sinebut Sastra Arja Ayuningrat kang gaib wujude, ora tinulis ing kertas nanging nglimput jroning wujud (titah).
4. Kaping papat sinebut Sastra Endraprawata, yaiku sastra anggitane manungsa kang tinulis lan bisa disawang mata lahiriah. Saben bangsa manungsa duwe aksara dhewe-dhewe. Mula sastra (firman, sabda)-ne Gusti Allah kanggo saben bangsa tinulis mawa cara bangsane dhewe-dhewe. Dene bisane mangerti isining sastra (firman, sabda) kudu marsudi ing budi kawruh.
5. Kaping lima disebut Sastra Swarasandi, swara (wisik) metu saking gaib. Kang ngrungu kuping pribadi, ngrungu swarane wong wadon.
Amung titah pinilih kang bisa mangerti Sastra Rancang, Sastra Swarawangsit lan Sastra Arja Ayuningrat. Titah pinilih ya titah kang wus tumapak ing tataran ‘paramayoga’, tingkat yoga (semedi, meditasi) kang paling dhuwur dhewe.
Begjane tinitah Jawa, Gusti Allah ngeparengake para winasise kang wus ing tataran ‘paramayoga’ medar sabda mbabar kawruh rungsit babagan sejatining urip (hakekating urip). Kawruh kang winedar nulad saka asiling nampa ‘pencerahan’ maca Sastra Rancang, Sastra Swarawangsit, lan Sastra Arja Ayuningrat. Sastra gaib tetelune iki mbok menawa kang disebut “Sastra Jendra Hayuningrat”.
Babagan ‘sastra’ iki tak aturake ana ing bawarasa Ngelmu Urip kanggo mengerteni prekara spiritualisme (kebatinan) Jawa. Bab iki perlu, amarga ing ranah ejawen akeh kang umyek ngrembuk bab “Sastra Jendra Hayuningrat”, lan akeh uga kang wani ngaku wus bisa ndungkap kawruh ‘Sastra Jendra’. Kejaba iku, kanggo atur pangerten menawa ngelmu Sejatining Urip cara Jawa ora ngayawara lan dudu mistik keprimitifan kaya kang didakwakake sasuwene iki. Ngelmu Jawa iku bisa ditelusuri logika rasionale.
Ana pitakon, Jawa iku sejatine duwe donga lan cara panembah marang Gusti Kang Maha Kuwasa apa ora? Ewuh aya anggone arep atur wangsulan. Menawa diwangsuli ana, sing kepriye donga lan tatacara panembahe? Menawa diwangsuli ora ana, lha kok aneh ! Bab iki, sajake pancen wis dadi rembuk umyek duk jaman kapujanggan. Jaman nalika sebaran agama Islam lan sebaran ide rasionil Barat gencar-gencare ngisi ruang batine wong Jawa. Kahanan kang dening para pujangga
Kraton ditengarai bakal gawe rusake pranatan Jawa. Mula menawa nyimak jero karya sastrane para pujangga, ngumunake. Diskusi antarane para pujangga adu penemu lan argumen banget narik kawigaten. Ana sastra kang isine ‘memantapkan’ ajaran Islam, ana sastra kang samar-samar ngemot ‘perlawanan’, ana uga sastra kang ‘mensinergikan’ ajaran agama Islam, Hindhu, lan Buddha karo piwulang Jawa. Ana uga kang radikal menyerang doktrin dogma agama-agama. Kawicaksanan politik Kraton anggone ngemong diskusi aja nganti gawe dredah ing antarane para kawula banjur nganakake seleksi karya sastrane para pujangga. Ana kang dikeparengake lolos dikonsumsi kawula, ana kang kudu disimpen dadi kapustakan sinengkere Kraton. Elok temenan para intelektual Jawa jaman iku lan kawicaksanane pemerintahan Kraton anggone ngecakake ‘manajemen konflik’ murih ora gawe dredahe bebrayan. Nanging, kang sinengker iku akeh kang didadekake ‘cindera mata’ marang para warga Eropa. Digawa mulih neng negarane, disinau lan ddianggo studi pirang-pirang kepentingan. Sing cetha banjur kanggo pancadan ‘menjajah’.
Saperangan karya sastra kang radikal ana sing lolos sensor utawa pancen disengaja dening pemerintah penjajahan murih kahanan para kawula Jawa kegawa ana ing suwasana ‘konflik’ saengga lali menawa bumine diperes entek-entekan.
Ngelmu Urip #11
Ditelisik saka literatur lan laku budaya Jawa pancen ora ditemokake donga lan tatacara panembah kang wujud laku ritual. Kang ana: mantra, sesaji, laku sesirih lan laku semedi (meditasi). Gandheng ora padha mudheng larah-larahe, banjur ana panganggep menawa mantra iku pada karo donga, sesaji, laku sesirih lan laku semedi padha karo ritual panembah. Mantra ora padha karo donga. Menawa donga iku panyuwun marang Gusti, dene mantra iku ngempakake daya uripe manungsa peparinge Gusti. Atur sesaji, laku sesirih lan laku semedi mujudake tatacara ndayakake dayaning urip murih bisa nindakake urip kang bener, becik lan pener. Yaiku nindakake urip melu memayu hayuning bawana.
Daya uripe manungsa mahanani anane ‘aurora magis’ kang nglingkupi anggane manungsa. Wateke aurora magis iku dhewe-dhewe amarga beda-bedane kahanan unsur-unsur kang mangun jasade manungsa. Unsur-unsur iku asale saka bumi, langit, cahya lan teja kang tansah owah gingsir kahanane ing saben wektune. Mula banjur ana ngelmu Jawa kanggo nengeri beda-bedane ‘aurora magis’ nganggo dhasar wetonan lan wuku.
Aurora magis uripe manungsa karo aurora alam semesta iku ana sesambungane lan daya-dinayan sacara kosmis-magis. Dinamika daya-dinayan ana kang jumbuh (nyambung, bersinergi), nanging uga ana kang tolak-menolak. Laku sesirih lan semedi mujudake pangrekadaya njumbuhake aurora magis uripe manungsa karo aurora alam semesta. nJumbuhake jagad cilik (manungsa) karo jagad gedhe (alam semesta). Dene sesaji minangka pangrekadaya njumbuhake aurora magise manungsa karo titah dumadi kang padha-padha manggon ing jagad, khususe titah gaib.
Manungsa kang wus bisa nggayuh jumbuhing jagad ciliklan jagad gedhe disebut wus bisa nggayuh ‘wahyu dyatmika’. Yaiku manungsa kang kaparingan Gusti nduweni ‘daya linuwih’ tumrap cipta rasa karsane kang sinebut ‘prana’. Pandayaning prana sinebut mantra. Jinising mantra werna-werna, kabeh mesthi ana syarat lakune. Bisa kanggo kabecikan nanging ora sethithik uga kang bisa kanggo laku ala lan nistha. Mulane ing piwulang Jawa banget ditekanake bab ‘eling’. Yaiku eling marang ‘aras kesadaran’: ber-Tuhan, kesemestaan, keberadaban, kerukunan lan keselarasan.
Operasionale ‘eling’ mahanani manungsa bisa ndayakake pranane wujud mantra kang tumuju marang kabecikan urip bebarengan kang ‘tata tentrem kerta raharja’. Luwih utama lan dhuwur maneh, menawa mantra katujokake kanggo ‘nyengkuyung panunggalan semesta’. Nyengkuyung
panunggalan semesta bisa diarani panembahe manungsa marang Gusti miturut piwulang Jawa. Kang mangkene iki dingendikakake dening pujangga R.Ng. Ranggawarsita ana ing Kitab Pustaka Raja Purwa: “Dene patrapipun angabekti ing Dewa (manembah dhumateng Kang Murbeng Dumadi) punika kalih prakawis, punika boten kenging pisah, karanten ing saestunipun boten wenang amumuja yen dereng anglampahi tapabrata.”
Panembah pribadi (perorangan) wujud operasionale budi luhur ing tengahing bebrayan. Sinebut ing unen-unen: “Hangawula kawulaning Gusti”. Yaiku pekerti urip kang
tansah eling marang jejibahan ‘nyengkuyung panunggalan semesta’. Panembah bebarengan ing tata lair nindakake ‘laku budaya’ ngaturake kaendahan (Laku Kalangwan), kayata: upacara ruwat bumi (grebeg, suran, sadranan, apitan lsp.), upacara kidungan, ritual gamelan, bedhaya ketawang, lan sapanunggalane.
Intine panembah bebarengan ing tata kebatinan, nyawijekake daya urip (prana urip) kanggo mujudake ‘mahamantra’ kang bisa ndayani keselarasan sesambungan (harmonisasi hubungan) spirituale umat manungsa karo spirituale alam semesta saisine. Tujuwane golek slamet ing sakabehane.
Emane, saka anane owah-owahan jaman, laku budaya kang sejatine luhur banget iku wis akeh wong Jawa kang ninggalake. Tradisi grebeg, suran, sadranan, apitan wis owah saka tujuwan nyawijekake ‘prana urip’ lan mung dadi tradisi adat kang ‘kering tanpa makna’. Upacara kidungan lan ritual gamelan saya adoh saka nuansa sakral kang suci. Bedhaya ketawang dianggep
amung Kraton kang wenang nganakake. Kawula alit ora diwenangake, mengko mundhak kuwalat.
Ngelmu Urip #12
Piwulang Jawa kang ngrembuk babagan ‘Sejatining Urip’ digelar ing ‘Wirid Wolung Pangkat’ utawa ‘Wolung Martabat’ kaya kasebut ing ngisor iki:
1. Wejangan pituduh wahananing Pangeran :
Sajatine ora ana apa-apa, awit duk maksih awang-uwung durung ana sawiji-wiji, kang ana dhihin iku Ingsun, ora ana Pangeran nanging Ingsun sajatining kang urip luwih suci, anartani warna, aran, lan pakartining-Sun (dzat, sipat, asma, afngal).
2. Wejangan pambuka kahananing Pangeran :
Satuhune Ingsun Pangeran Sejati, lan kawasa anitahake sawiji-wiji, dadi ana padha sanalika saka karsa lan pepesthening-Sun, ing kono kanyatahane gumelaring karsa lan pakartining-Sun kang dadi pratandha :
Kang dhihin, Ingsun gumana ing dalem alam awang-uwung kang tanpa wiwitan tanpa wekasan, iya iku alaming-Sun kang maksih piningit.
Kapindho, Ingsun anganakake cahya minangka panuksmaning-Sun dumunung ana ing alam
pasenedaning-Sun.
Kaping telu, Ingsun anganakake wawayangan minangka panuksma lan rahsaning-Sun, dumunung ana ing alam pambabaring wiji.
Kaping pat, Ingsun anganakake suksma minangka dadi pratandha kauripaning-Sun, dumunung ana alaming herah.
Kaping lima, Ingsun anganakake angen-angen kang uga dadi warnaning-Sun ana ing sajerone alam kang lagi kena kaupamakake.
Kaping enem, Ingsun anganakake budi kang minangka kanyatahan pencaring angen-angen kang dumunung ana ing sajerone alaming badan alus.
Kaping pitu, Ingsun anggelar warana (tabir) kang minangka kakandhangan paserenaning-Sun. Kasebut nem prakara ing ndhuwur mau tumitah ing donya, yaiku sejatining manungsa. (Dzat Urip kang ana ing manungsa, ksm).
3. Wejangan gegelaran kahananing Pangeran :
Sajatining manungsa iku rahsaning-Sun, lan Ingsun iki rahsaning manungsa, karana Ingsun anitahake wiji kang cacamboran dadi saka karsa lan panguwasaning-Sun, yaiku sasamaning geni bumi angin lan banyu, Ingsun panjingi limang prakara, yaiku: cahya, cipta, suksma (nyawa), angen-angen lan budi. Iku kang minangka embanan panuksmaning-Sun sumarambah ana ing dalem badaning manungsa.
4. Wejangan kayektening Pangeran amurba ciptane manungsa :
Sajatine Ingsun anata palenggahan parameyaning-Sun (baitul makmur) dumunung ana ing sirahing manungsa, kang ana sajroning sirah iku utek, kang gegandhengan ana ing antarane utek iku manik (telenging netra aran pramana), sajroning manik iku cipta (nalar), sajroning cipta iku budi, sajroning budi iku napsu (angen-angen), sajroning napsu iku suksma, sajroning suksma iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun. Ora ana Pangeran anging Ingsun, Sejatining Urip kang anglimputi sagunging kahanan.
5. Wejangan kayektening Pangeran amurba rasa pangrasaning manungsa :
Sajatine Ingsun anata palenggahan laranganing-Sun (baitul haram) dumunung ana dhadhaning manungsa, ing sajroning dhadha iku ati lan jantung, kang gegandhengan ing antarane ati lan jantung iku rasa pangrasa, ing sajroning rasa pangrasa iku budi, ing sajroning budi iku jinem (angen-angen, napsu), sajroning jinem iku suksma, sajroning suksma iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun. Ora ana Pangeran anging Ingsun, Sejatining Urip kang anglimputi sagunging kahanan.
6. Wejangan kayektening Pangeran amurba tuwuhing wiji uripe manungsa :
Sajatine Ingsun anata palenggahan pasucianing-Sun (baitul kudus) kang dumunung ana kontholing (wadon: baganing) manungsa, kang ana ing sajroning konthol (wadon: baga) iku pringsilan (wadon: purana), kang ana ing antaraning pringsilan (wadon: purana) iku mani (wadon: reta), sajroning mani (wadon: reta) iku madi, sajroning madi iku wadi, sajroning wadi iku manikem, sajroning manikem iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun.
Ora ana Pangeran anging Ingsun, Sejatining Urip kang anglimputi sak liring tumitah, jumeneng dadi wiji kang piningit, tumurun mahanani sesotya kang dhingin kahanan kabeh maksih dumunung ana alaming wiji, laju manggon ana alam pambabaring wiji, laju tumurun ana alaming suksma, laju tumurun ana ing alam kang durung kahanan (alam kang ingaran upama), laju tumurun marang alam donya (alaming “manungsa urip”), iya iku sajatine warnaning-Sun.
7. Wejangan panetepan santosaning pangandel :
Yaiku bubukaning kawruh “manunggaling kawula-gusti” sing amangsit pikukuh anggone bisa angandel (yakin) menawa urip kita pribadi kayektene rinasuk dening dzate Pangeran (Dzat Urip, Sejatining Urip). Pangeran iku ya “jumenenge urip kita pribadi sing sejati”. Roroning atunggal, sing sinebut ya sing anebut. Dene pangertene utusan iku cahya kita pribadi, karana cahya kita iku dadi panengeraning Pangeran. Dununge mangkene: “Sayekti temen kabeh tumeka marang sira utusaning Pangeran metu saka awakira, mungguh utusan iku nyembadani barang saciptanira, yen angandel yekti antuk sih pangapuraning Pangeran”. Menawa bisa nampa pituduh sing mangkene diarah awas ing panggalih, ya urip kita pribadi iki jumenenging nugraha lan kanugrahan. Nugraha iku gusti, kanugrahan iku kawula. Tunggal tanpa wangenan ana ing badan kita pribadi.
8. Wejangan paseksen :
Yaiku wejangan jumenenge urip kita pribadi angakoni dadi “warganing Pangeran Kang Sejati” kinen aneksekake marang sanak sedulur kita, yaiku: bumi, langit, srengenge, rembulan, lintang, geni, angin, banyu, lan sakabehing dumadi kang gumelar ing jagad.
Ngelmu Urip #13
Wejangan Wolung Pangkat (Martabat) medarake “konsep spiritual” Jawa menawa ‘sejatining uripe’ manungsa “tunggal kahanan” karo sesembahane kang disebut Pangeran utawa Gusti. Yaiku: dzat mutlak suwung, abadi, tanpa arah tanpa papan, tanpa kantha (wujud) tanpa warna, sepi ing ganda-rasa-swara, asipat elok, ora lanang ora wadon ora wandu, rumasuk ing alam semesta saisine.
Wejangan Wolung Pangkat ana ing serat-serat kapujanggan disebutake minangka kawruh Warisane para Wali. Wondene sumbere saka wejangane Kanjeng Nabi Muhammad marang Sayidina Ali. Pamejange kanthi cara diwisikake ing talingan kiwa. Bener lan orane krenahe para pujangga anggone nyantholake Wejangan Wolung Pangkat marang para Wali butuh ditelisik sing jero. Apa ya ana wejangan kaya ing wirid kasebut ana ing ajaran Islam. Utamane bab ketasawufan. Kanggo iku, becike para kadang kersa maos ‘Islam Kejawen’ tulisane Prof. Simuh kang ngudhari “Serat Wirid Hidayat Jati’ anggitane R.Ng. Ranggawarsita.
Wejangan Wolung Pangkat diaturake ing bawarasa ‘Ngelmu Urip’ kepentingane kanggo mangerteni ‘pokok baku’ konsep spiritualisme Jawa. Keadiluhungan piwulang kebatinan Jawa kanyatane akeh kang sumbere saka literatur serat-serat kapujanggan (Kawiwitan jaman Sultan Agung). Menawa diunggahake ing literatur ing sadurunge (parwa lan kakawin) wis akeh kang ora
mudheng basane. Mula perlu dikaji bener lan orane menawa basa Jawa kang saiki isih lumaku iki
biyen-biyene saka basa Kawi (Jawa Kuna). Pandugane KSM, basa Jawa Kuna iku basa persatuan (lingua franca), dudu basa ibu kanggone wong Jawa. Mula ora merakyat lan ora dimudhengi dening umume wong Jawa. Menawa panduga iki bener, bisa didudut pangerten menawa sejatine Jawa iku sepanjang sejarahe dikooptasi (terjajah secara spiritual) dening budaya lan peradaban asing. Wiwit thukul kejatidhiriane maneh nalika Sultan Agung jumeneng nata ing Mataram. Wiwit jaman iku para intelektual Jawa (pujangga) nganggit sastra kang ngemot ilmu-ilmu Jawa kanggo ‘melawan’ kooptasi budaya lan peradaban asing. Salah sijine kanggo ‘menjembatani’ kutub religius agama lan kutub rasionalitas sekuler Barat kang digawa penjajah Landa.
Kanyatane ing donya iki pancen ana kutub werna loro iku. Analisane para winasis Jawa, ngandhakake menawa kutub werna loro (religius agama lan rasionalitas sekuler) iku tansah regejegan kang gawe ora tentreme kahanan donya. Analisane digawe crita ‘carakan aksara
Jawa’: hanacaraka (piwulang urip: religius lan rasionalitas), datasawala (regejegan rebut bener),
padhajayanya (padha dene duwe argumen dasar kang kuwat), magabathanga (tumuju konflik kang bisa gawe pepati).
Hebate, para winasis Jawa banjur nemokake solusi kanggo ‘meredam konflik’ kasebut tumrape bebrayan Jawa kanthi mulangake ‘hakekating urip’. Piwulange uga dimomotake ana ing nilai-nilai filosofis aksara Jawa. Ing antarane nerangake menawa sakabehing aksara Jawa
iku dipapanake ana ing angganing manungsa urip:
Ha : Endraprawata, dununge ing grana utawa irung.
Na : Purwana, dununge ing netra (mripat).
Ca : Sandipranata, dununge ing lesan (tutuk).
Ra : Pujanggatarulata, dununge ing rema (rambut).
Ka : Endradipa, dununge ing karna (kuping).
Da : Pujanggataruresmi, dununge ing jangga (gulu).
Ta : Tunjungresmi, dununge ing asta (tangan).
Sa : Sekarsinom, dununge ing dhadha.
Wa : Purwakanthi, dununge weteng.
La : Purwaresmi, dununge ing lempeng antarane lambung lan ula-ula.
Pa : Pratignya, dununge ing puser.
Dha : Patista, dununge ing kempung, weteng perangan ngisor wudel.
Ja : Baskara, dununge ing blegere manungsa disawang saka kadohan.
Ya : Purwangka, dununge ing perji (wewadi).
Nya : Pujanggamurdha, dununge ing pupu Mông : Pustakajamus, dununge plawangan ngisor
(silit).
Ga : Krendha, dununge ing gantangan (pupu kekarone).
Ba : Prawignyaadi, dununge ing bokong.
Tha : Gendhingbarang, dununge ing thiklek (cecingklok, dhengkul mburi).
Nga : Bonangrante, dununge ing dalamakan (tlapak sikil).
A : Sunggingpurbakara, dununge ing titis, yaiku: wujud sawutuhe manungsa.
Ngelmu Urip #14
Sing wis lumrah dimangerteni umum, carakan aksara Jawa iku disambungake karo dongeng ‘Ajisaka’. Kamangka figur Ajisaka iku misterius banget. Asale saka India kang teka ing tanah Jawa kira-kira abad 3-4 M. Kamangka penelitian bab aksara Jawa ‘hanacaraka’ nemokake menawa panganggite lan digunakake wiwit jaman Sultan Agung (Abad 16). Malah-malah, bisa uga, nembe ing jaman kapujanggan. Jaman nalikane Jawa saperangan gedhe wis dijajah Landa kang nyebarake pemikiran rasionalitas lan aksara Latin. Dene umume wong Jawa wektu iku luwih akrab karo pemikiran religius Islam lan aksara Arab Pegon. Iya amarga kanggo ngawekani
kemungkinan konflik iku, para winasis Jawa ngrekadaya ‘menjembatani’ kanthi mulangake ‘hakekating urip’ nganggo carakan aksara Jawa ‘hanacaraka’ kasebut. Ana uga piwulang ‘hakekating urip’ kang migunakake urut-urutane carakan aksara Jawa Piwulang kasebut
dening suwargi Ir. Sri Mulyono ana ing bukune “Apa dan Siapa Semar’ disebut ‘Filsafat Nusantara’:
Ha : Hananira sejatining wahananing Hyang.
Na : Nadyan nora kasat mata pasti ana.
Ca : Careming Hyang yekti tan cetha wineca.
Ra : Rasakena rakete lan angganira.
Ka : Kawruhana jiwanira kongsi kurang weweka.
Da : Dadi sasar yen sira nora waspada.
Ta : Tamatna prabaning Hyang sung sasmita.
Sa : Sasmitane kang kongsi bisa karasa.
Wa : Waspadakna wewadi kang sira gawa.
La : Lalekna yen sira tumekeng lalis.
Pa : Pati sasar tan wun manggya papa.
Dha : Dhasar beda kang wus kalis ing godha.
Ja : Jangkane mung jenak jenjeming jiwaraga.
Ya : Yatnana liyep luyuting pralaya.
Nya : Nyata sonya nyenyet labeting kadonyan.
Ma : Madyeng ngalam pangrantunan aywa samar.
Ga : Gayuhaning tanna liyan jung sarwa arga.
Ba : Bali murba misesa ing njero njaba.
Tha : Thakulane widadarja tebah nistha.
Nga : Ngarah ing reh mardi-mardiningrat
Ngelmu urip Jawa pancadane ana ing kesadaran religius, kesadaran kesemestaan lan kesadaran keberadaban (kemanusiaan). Mula bab spiritualisme Jawa penting banget dimangerteni kanggo menerake kesadaran telung perkara kasebut. Wirid Wolung Pangkat lan kandhungan nilai-nilai filosofis aksara Jawa bisa kanggo pancadan mangerteni spiritualisme Jawa kang ora liya wujud
‘piwulang sejatining urip’.
Bisa uga akeh para kadang kang kurang bisa nampa wejangan Wirid Wolung Pangkat apadene Filsafat Nusantara. Wondene anggone maoni jalaran kang sinebut ing wejangan lan filosofi iku dudu sabda dhawuhing Gusti kang liwat utusan (mesias, nabi). Pancene Jawa ora kenal sing disebut utusan kayadene kang lumrah ing agama. Kang ana amung pangandikane para winasis kang lumrahe disebut ‘guru’ utawa ‘panuntun’. Jejibahane guru iku mulang lan nuntun siswane mangerteni kawruh. Wondene kawruhe dhewe uga saka anggone ‘meguru’. Gurune ngerti kawruh uga saka meguru maneh. Ing kene banjur sapa guru kang sepisanan paring wedaran kawruh ?
‘Guru Sejati’ ora liya iya Pangeran utawa Gusti kang dadi sesembahane sakabehing titah dumadi. Mulane kawruh kang diwulangake para winasis amung nuduhake dalan supaya siswane gelem nglakoni ‘sinau’ marang ‘Guru Sejati’. Wirid Wolung Pangkat apadene Filsafat Nusantara iku fungsine dadi kawruh panuntun marang kita kabeh (lajer Jawa) supaya meguru marang Guru
Sejati. Mula ora salah anggone para pujangga ngendika “Durung wenang amumuja Bathara lamun durung nglakoni tapabrata”. Wondene laku tapabrata wus diringkes wujud ‘Pancabrata’ kang wus diaturake. Jutuling laku, utawa bisane rampung tapabratane sawuse nampa ‘wahyu dyatmika’ kang ana ing basa ampange bisa diarani ‘pencerahan’. Pencerahane ya pencerahan bab ‘Ngelmu Urip’.
Ngelmu Urip #15
Spiritualisme Jawa kang intine kesadaran religius, kesadaran kesemestaan lan kesadaran keberadaban bisa kanggo pancadan dhudhah-dhudhah sakabehing Kawruh Kejawen. Uga kena kanggo milah-milahake endi kang ‘becik-bener-pener’ lan endi kang mung ‘ngelmu karang’. Nanging, ora saben wong Jawa bisa kadunungan kabisan ing jagad spiritualisme. Saperangan gedhe malah awam lugu lan butuh dituntun. Mula ing tengahing bebrayan Jawa akeh tinemu anane sesepuh kang dipercaya dadi panuntun.
Sesepuh kang dadi panuntun biyen-biyene uga mujudake tetungguling bebrayan (tetua adat). Sebutane werna-werna, upamane: Ki Ajar, Ki Buyut, Ki Gedhe, Ki Ageng, lan liya-liyane. Lumrahe uga dadi panguwasa ing tanah perdikan kang bebas mardika ora direh pemerintahan kerajaan. Nanging anane owah-owahan jaman, tanah-tanah perdikan dikuwasani para raja.
Tetungguling bebrayan (tetua adat) didadekake ‘hirarki jabatan tata pemerintahan’. Ki Ajar, Ki Buyut, Ki Ageng lan Ki Gedhe diganti Bupati (Tumenggung), Wedana, Demang, lan sapiturute.
Tata pemerintahan migunakake kukum (sistem) kang diadopsi saka budaya lan peradaban manca. (Asia Daratan lan Eropa). Peranane para tetua adat Jawa kesisih, wusanane mung kari para ‘sesepuh pinggiran’ kang dianggep duwe kaluwihan. Marang sesepuh pinggiran mangkene iki wong Jawa awam padha golek ‘tuntunan’ spiritualisme.
Cilakane, para sesepuh pinggiran uga diarani dukun. Mula banjur ana anggepan negatif menawa wong Jawa seneng merdukun. Banjur tuwuh anggepan spiritualisme (kebatinan) Jawa dipadhakake karo ‘ngelmu perdukunan’. Wusanane nglairake panganggep menawa spiritualisme
Jawa iku ‘aliran sesat’ kang ‘bersekutu karo setan’ lan sapiturute.
Penyebaran agama saka manca lan lumebune modernisasi ala Barat kang ujung tombake ilmu pengetahuan lan teknologi ing tanah Jawa intensif banget tumekane wektu iki. Nilai-nilai Jawa kejepit ing antarane religiusitas agama lan rasionalitas moderen Barat. Kamangka wiwit saka sumber asale, antarane religiusitas lan rasionalitas ‘terperangkap perseteruan’ kang ora ana enteke. Akibate, kejepite Jawa uga terus-terusan. Para pujangga Jawa kang waskitha banjur ngrekadaya bisane uwal saka ‘situasi kejepit’ kasebut. Ing kene banjur lair ‘Kawruh Kejawen’ kang intine nerangake ‘Sejatining Urip’ (Hakekating urip, Ngelmu Urip).
Iya wiwit jaman kapujanggan sejatine Kejawen kang adiluhung wiwit ditata diskripsine. Para pujangga nganggit tulisan-tulisan diskripsi babagan: kebatinan (spiritualisme), balsafah (filosofi lan etika), laku budaya (pertanian, ekonomi, sosial, ritus-ritus, lsp.), primbon, pranata mangsa, seni budaya (wayang, karawitan, tari, batik, keris, arsitektur, lsp.), basa lan sastra, sarta ngelmu-ngelmu liyane kang dibutuhake kanggo uripe manungsa Jawa. Diarani adiluhung jalaran
sakabehing kawruh Jawa kasebut dimomoti konsep: religius, sadar semesta lan kesadaran berbudi luhur (beradab).
Emane, perkembangan situasine akeh-akehe wong Jawa dhewe nganggep Kejawen iku rumit lan angel dimudhengi. Banjur padha golek gampange (pragmatisme) milih mengadopsi budaya lan peradaban manca kang luwih populer lan gampang. Sethithik mbaka sethithik Kejawen dilalekake kang wusanane ilang kesilep dening dominasine nilai-nilai religius agama lan rasionalitas Barat.
Kodrat pepesthene Gusti Kang Maha Agung kanyatane ora gampang ilang musna. Semono uga kinodrat Jawa uga ora gampang ilange senajan kesilep dening dominasi tata nilai liya. Arepa ing tata lair wong Jawa malih ora Jawa maneh, kanyatane otot bayune tetep Jawa. Senajan ngelmu urip cara Jawa wektu iki dilalekake, nanging isih tetep ana ing sajroning batine saben wong Jawa.
Kanthi mangkono isih bisa diuri-uri lan sawijining wektu ing mbesuke bakal dadi ideologine wong Jawa maneh. Apamaneh ing mengko sawise akeh sing mangerti menawa ngelmu urip Jawa iku piwulang luhur babagan ‘sejatining urip’ tumraping manungsa. Lan cetha banget arase kanggo urip bebarengan.
Ngelmu Urip #16
Ngelmu Urip cara Jawa sumber bakune filosofi Jawa, panunggalan. Wondene kang dituju kanggo nggayuh urip bebarengan kang tata tentrem kerta raharja. Menawa diringkes, kang dituju iku: slamet. Slamet kanggo pribadi, slamet kanggo kulawarga, slamet kanggo bebrayan, munggahe slamet utawa hayuning bawana. Kanggo nggayuh sakabehing slamet mau, ajaran Jawa
mulangake cara pangati-ati. Sakabehing persoalan ditimbang-timbang lan dipetung mateng. Mula banjur ana ‘ngelmu petung’. Yaiku ngelmu pangati-ati anggone nemtokake tumindak murih bisa nggayuh slamet. Kang paling populer babagan ‘ngelmu petung’ iki, yaiku petung owah gingsire kahanan ‘alam semesta’ kang diarani Primbon Wuku lan Wetonan.
Primbon Wuku lan Wetonan klebu ngelmu kang angel lan rumit, mula akeh kang banjur ora percaya pigunane. Malah-malah banjur ana sing nganggep gugon tuhon lan ngayawara. Kamangka sejatine mujudake sawijining sarana kanggo tumindak ngati-ati. Lan maneh uga
nganggo landhesan kang maton, yaiku anane owah gingsire kahanan alam semesta.
Para leluhur Jawa kanyatane bisa niteni babagan owah gingsire alam semesta miturut lakuning wektu. Bangsa liya, owah-owahan iku akeh-akehe amung kanggo nyatheti ‘perjalanan waktu’. Dene para leluhur Jawa kang nduweni ‘kesadaran semesta’, owah gingsire kahanan alam semesta ana pengaruhe tumrap kahanan uripe manungsa. Salagine ubenge bumi ing sumbune, wis
menehi owahing kahanan anane awan lan bengi. Naluri alamiah manungsa urip yen awan padha luru pangan dene bengine turu. Mula ora mokal menawa owah-owahan ‘posisine’ bumi karo sakabehing ‘benda angkasa’ ana daya pengaruhe marang uripe manungsa. Kesadaran semestane wong Jawa banjur bisa menehi tenger owah gingsire kahanan alam semesta. Ing antarane tenger owahing kahanan miturut perjalanan waktu :
1. Pasaran (Pancawara), etungan dina cacah 5 (lima):
Kliwon (Kasih), Legi (Manis), Paing (Jenar), Pon (Palguna), Wage (Cemengan, Kresna, Langking).
2. Paringkelan (Sadwara), etungan dina cacah 6 (enem):
Tungle, Aryang, Warukung, Paningron, Uwas, Mawulu.
3. Padinan (Saptawara), etungan dina cacah 7 (pitu):
Akat utawa Minggu (Dhite, Radhite, Radhitya), Senen (Soma), Selasa (Anggara), Rebo (Budha), Kemis(Respati, Wrahaspati), Jumuwah (Sukra), Saptu (Tumpak,Saniscara).
4. Padewan (Hastawara), etungan dina cacah 8 (wolu):
Sri, Indra, Guru, Yama, Rudra, Brama, Kala, Uma.
5. Padangon (Nawawara), etungan dina cacah 9 (sanga):
Dangu, Jagur, Gigis, Kerangan, Nohan, Wogan, Tulus, Wurung, Dadi.
6. Wuku (minggu) ana 30 (telung puluh): Sinta, Landhep, Wukir, Kuranthil, Tolu, Gumbreg, Warigalit, Warigagung, Julungwangi, Sungsang, Galungan, Kuningan, Langkir, Mandhasiya, Julungpujud, Pahang, Kuruwelut, Marakeh, Tambir, Madhangkungan, Maktal, Wuye, Manail,
Prangbakat, Bala, Wugu, Wayang, Kulawu, Dhukut, Watugunung.
7. Sasi ana 12 (rolas): Sura, Sapar, Mulud, Bakdamulud, Jumadilawal, Jumadilakir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Dulkaidah, Besar.
8. Taun ana 8 (wolu): Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, Jimakir.
9. Windu (umur 8 tahun) cacahe ana 4 (papat): Windu Adi (Linuwih), Windu Kuntara (Ulah), Windu Sengara (Panjir), lan Windu Sancaya (Sarawungan). Lakuning Windu saubengan ana 32 taun.
10. Lambang (umur 8 tahun) cacahe ana 2. Jenenge urut jenenge Wuku manut tumibane tanggal 1 Sura taun Alip ana ing dina kang klebu ing Wuku sing kanggo jeneng. Lakuning Lambang saubengan ana 16 taun.
11. Kurup (umur 15 windu = 120 tahun). Jenenge Kurup ana (7) pitu, manut tibane dina tanggal 1 Sura taun Alip: Tiba dina Jumuwah – Jamngiyah, Kemis – Kamsiyah, Rebo – Arbangiyah, Selasa – Salasiyah, Senen – Isnainiyah, Akad – Akadiyah, lan Sabtu – Sabtiyah.
12. Mangsa (sasi manut Suryasangkala, Tahun Saka): Kasa = Karttika, Karo = Pusa, Katelu = Manggasri, Kapat = Citra, Kalima = Manggakala, Kanem = Naya, Kapitu = Palguna, Kawolu = Wisaka, Kasanga = Jita, Kasapuluh = Srawana, Dhasta (Kasewelas) = Padrawana, Saddha
(Karolas) = Asuji.
Ngelmu Urip #17
Petung ‘perjalanan wektu’ (kalender) Jawa pancene pepak temenan. Kejaba kalender kang wewaton ubenge rembulan (komariyah, lunar) lan ubenge bumi ngiteri serengenge (syamsiyah, solar), Jawa duwe petungan Wariga Gemet kang ubengane 210 dina. Ing Bali petungan iki disebut ‘Pewarigaan’. Wewaton petungan iki njumbuhake petung: Padinan (saubengan 7 dina),
Pasaran (saubengan 5 dina), Paringkelan (saubengan 6 dina), lan Pawukon (saubengan 30 minggu = 210 dina). Ana ing prasasti lan kitab-kitab kakawin (basa Kawi), cathetan wektu wujud gabungan antarane petung Wariga Gemet lan taun Saka (Çaka) lan Mangsa. Kanggo iku
diaturake conto:
Sejarah dan Prasejarah Bahasa Jawa Kuno Pengetahuan kita mengenai sejarah Jawa Kuno terutama berdasarkan piagam-piagam dan prasasti-prasasti lama, yang ditulis di atas batu atau lempeng-lempeng dari perunggu. Tulisan-tulisan itu biasanya menyebut tanggal dikeluarkannya lewat sebuah sistem rumit yang berkaitan dengan gejala-gejala astronomis. Demikian misalnya prasasti SUKABUMI (bahasa Jawa Kuno) diawali begini: “Pada tahun 726 penanggalan Saka, dalam bulan Caitra, pada hari kesebelas paro terang, pada hari Haryang (hari kedua dalam minggu berhari enam), Wage (hari keempat dalam minggu berhari lima), Saniscara (hari ketujuh dalam minggu berhari tujuh)…” dan seterusnya. Inilah sebuah contoh khas cara orang Jawa
dulu menentukan sebuah tanggal.
Dalam prasasti-prasasti kemudian hari, sistem tersebut disempurnakan lagi, sehingga juga menyebut tingginya bulan, sebuah planit tertentu dan konstelasi maupun konjugasi dua bintang. Demikianlah pada umumnya terbuka kemungkinan untuk mengalihkan tanggal sebuah prasasti ke dalam kronologi kita dengan suatu kadar kepastian yang cukup memadai. Dan mengenai prasasti
SUKABUMI kita lalu sampai pada tanggal 25 MARET tahun 804 M. (P.J. Zoetmulder, Kalangwan (1974) halaman 3).
Cerita tentang penulisan Wirathaparwa Waisampayana: “Duli Baginda, beginilah sejauh yang
saya ingat. Kita mulai membaca cerita ini pada hari ke-15 bulan gelap dalam bulan ASUJI; harinya TUNGLE, KALIWON, BUDHA, pada wuku PAHANG dalam tahun 918
penanggalan SAKA. Dan sekarang ialah MAWULU, WAGE, RESPATI dalam wuku MADANGKUNGAN, pada hari ke-14 paro petang dalam bulan KARTTIKA. Jadi waktunya genap satu bulan kurang satu hari. Pada hari kelima Baginda tidak menitahkan diadakannya suatu pertemuan, karena Baginda terhalang oleh urusan lain. Menerjemahkan cerita ini ke dalam Bahasa Jawa Kuno minta waktu yang cukup banyak. Duli mengharapkan, agar pembawaan tidak melampaui kesabaran Baginda dan tidak dianggap terlalu panjang.”
Di sini kita berjumpa dengan suatu contoh bagaimana tanggal dibawakannya untuk pertama kali sebuah karya Jawa Kuno (deklamasi perdana) ditentukan dengan cukup rumit. Menurut kronologi modern tanggalnya ialah sejak 14 Oktober sampai 12 Nopember tahun 996 M. (P.J. Zoetmulder, Kalangwan (1974), halaman 110). Conto kasebut ing ndhuwur nuduhake menawa kawit biyen
mula wong Jawa wis duwe tatacara dhewe netepake tanggal (wektu). Disebutake wektune omplit banget. Disebutake kahanane rembulan (petung lunar): ‘paro petang’ lan ‘paro terang’. Kahanane ‘mangsa’ (PJZ nerjemahake bulan – petung solar). Panyebute dina nganggo petung Wariga Gemet (Wuku, Padinan, Paringkelan, Pasaran). Lan disebutake uga angka taun penanggalan Saka.
Kanthi mangkono, Jawa sejatine pancen wis duwe tata penanggalan sing lunar (komariyah) lan sing solar (syamsiyah). Malah diganepi nganggo petung Wariga Gemet. Nanging pancen sajake ora duwe cathetan angka taun, mula jaman prasasti lan kakawin sing dianggo angka taun Saka.
Ing Jaman Mataram Sultan Agung, petung Wariga Gemet dijumbuhake karo Penanggalan Hijriyah. Hebate, banjur bisa ditemokake wilangan siklus dina kang jumbuh karo petung penanggalan lunar lan Wariga Gemet, yaiku 5670 dina kang padha karo 2 windu (16 taun).
Ngelmu Urip #18
Panjumbuhe petung Wariga Gemet karo penanggalan sistem lunar (komariyah) ngasilake Penanggalan Jawa kang banjur bisa ‘nyambung’ (senajan ana bedane) karo penanggalan Hijriyah Islam. Angka taun Penanggalan Jawa ora njupuk angka taun Hijriyah, nanging nerusake
angka taun Saka kang sisteme solar (syamsiyah). Bab iki ora amarga Jawa ngemohi penanggalan Hijriyah, nanging murih cetha prabedane penanggalan Jawa (lunar) karo penanggalan Hijriyah. Karomaneh, penanggalan Saka kang neng Jawa wis lumaku wiwit mlebune agama Hindhu wis dianggap penanggalan Jawa. Malah-malah, menawa dikaitake karo Pranata Mangsa (sasi, wulan),
bisa uga penanggalan Saka kang dianggo wong Jawa ora padha karo penanggalan Saka sing dianggo ing tanah Hindustan (India).
Penanggalan Jawa yasane Sultan Agung digawe murih bisa nglebokake sistim petungan wektu (Wariga Gemet) kang wis ‘mentradisi’ lan asli Jawa. Upamane, kejaba wuku lan wetonan isih ana jenenge taun cacah 8, windu cacah papat, tumekane kurup cacah 7 (sawise dijumbuhake,
sadurunge ana 35).
Cathetan bab kurup: Lumakune saben 120 taun, yaiku ngajokake sedina tibane tanggal 1 Sura taun Alip. Menawa kurup sadurunge tiba Rebo Wage (Kurup Aboge), candhake ditibakake Selasa Pon (Kurup Asapon), tegese puteran kurup manut cacahe dina wetonan (35). Sawise
dijumbuhake cukup pitung kurup kang jenenge manut urutan mundur jeneng Padinan. Upamane sadurunge tiba tanggal 1 Sura taun Alip tiba dina Saptu dijenengi kurup Sabtiyah, kurup sateruse tiba dina Jemuwah dijenengi kurup Jamngiyah.
Ing bawarasa Ngelmu Urip perlu banget diaturake pangerten-pangerten petung wektu Jawa iki jalaran ing tengahing masyarakat akeh kang nganggep petung wektu Jawa ngayawara lan tahayul. Ana uga kang duwe anggepan menawa Kalender Jawa iku mung jiplakan saka Kalender Hijriyah. Tegese, ngasorake kawruhe leluhure awake dhewe lan muji-muji kawruh saka manca kang urung
mesthi nyocogi kanggo nglakoni urip neng tanah Jawa. Petung wektu Jawa mujudake perangan pangati-ati kang tliti temenan. Mula, bisa uga, ya mung wong Jawa kang duwe krenah menehi wataking kahanan utawa ciriwanci tumrap dina-dina ing Wariga Gemet cacah 210. Kejaba nganggo dhedhasar wataking: Wuku, Padinan, Pasaran lan Paringkelan, uga dilebokake petungan dina Padewan (saubengan 8 dina) lan Padangon (saubengan 9 dina). Sabanjure ditambahake petungan neptu cacah 3, yaiku: Petungan Pancasuda (7 werna), Rakam (6 werna), lan Paarasan (10 werna). Uga ana luluri utawa pangeling-eling anane dina-dina kang duwe bobot kahanan ‘aurora kosmis khusus’, yaiku: Tali Wangke, Sampar Wangke, Sarik Agung, Kala Dhite, Dhendhan Kukudan lan Sengkan Turunan.
Kabeh petung lan pepeling tumuju marang pangati-ati anggone mangerti kahanan owah gingsire aurora kosmis alam semesta ing saben dinane. Kanyatane, kahanane planet bumi ing tengahing alam semesta tansah dayan dinayan karo sakabehing ‘benda angkasa’. Daya-dinayan iku nuwuhake aurora kosmis kang tansah owah gingsir dinamis manut posisine bumi karo benda-benda angkasa liyane mau.
Contone:
- Hubungane bumi karo srengenge ndadekake ana awan lan bengi, uga ndayani urip kehidupan) marang flora lan fauna, nuwuhake angin lan udan kang sabanjure (kanggone manungsa Jawa) bisa ditengeri anane ‘mangsa’ (musim) cacah 12 saben taune.
- Hubungane bumi karo rembulan ana dayane kang njalari ana pasang lan surut tumraping banyu segara. Uga ndayani prilakune flora lan fauna.
Menawa srengenge lan rembulan nduweni daya pangaribawa tumraming urip (kehidupan) titahing Gusti Allah kang manggon ing bumi, milyaran lintang ing angkasa mesthi uga ada daya pangaribawane. Ana daya aurora kosmis kang sipate bisa dititeni sacara empiris, nanging uga
ana daya kang sipate kudu dimangerteni kudu nganggo daya spirituil. Gandheng titah manungsa (Jawa) kaparingan daya empiris (cipta rasa karsa) lan daya spirituil, mula bisa mangerteni sakabehing owah-owahane aurora kosmis alam semesta lan pengaruhe marang urip lan panguripane manungsa. Iya nganggo dhasar pangerten iki, ing Jawa ana Primbon Pawukon lan
Wetonan kang kanggo mangerteni watak lan lelakone uripe manungsa kang gegayutan karo weton lan wukune nalika lair.
Ngelmu Urip #19
Ing tengahing bebrayan wektu iki, akeh kang nganggep primbon pawukon lan wetonan petungan kang ora klebu nalar, gugon tuhon ngayawara. Malah-malah akeh uga kang nganggep ‘bertentangan’ karo ajaran agama. Nanging anehe, sing padha maido iku nyatane ya ora
wani nerak kapercayaan anane dina becik lan ala. Uga ana kang isih perlu golek dina becik nalikane arep mantu, pindhah omah, serah terima jabatan lan sapanunggalane.
Kanyatan mangkene iki nuduhake menawa sejatine ing jero batine wong Jawa pancen wis kadunungan ‘kesadaran semesta’ kang mbalung sungsum. Anane padha duwe anggepan yen wuku lan wetonan gugon tuhon mung sawijining ‘pepinginan’ ben diarani moderen utawa
‘lurus imane’.
Pancen gegandengan karo masalah owah-owahan kahanan semesta alam kang dipetung nganggo wuku lan wetonan banjur ana tuntunan Jawa kanggo ‘menyiasati’ murih becike. Tuntunan mau ana kang wujud ritual sesaji lan ruwatan kang ora gampang dinalar. Upamane kang disebut ‘sedhekah ngawekani sambekala wuku’ utawa ‘ruwatan wuku’ kang wujude ritual kendurenan. Apa maneh dongane kok dudu donga Jawa nanging donga agama Islam kang diwenehi pengantar nganggo basa Jawa. “ Apa mandi dongane ?”, mangkono pitakonan kang kerep ditampa KSM.
Ewuh aya anggone arep nerangake. Amarga bab iki pancen ana sambunge karo transformasi budaya nalika lumebune agama Islam ing Jawa. Menawa digoleki ing literatur bab anane sambekala wuku lan tatacara sidhekahe kaya kang disebut ing buku-buku primbon, ketemune mung ana ing jaman kapujanggan. Yaiku jaman nalikane akeh lakubudaya Jawa kang wis dileboni pengaruh agama Islam. Mula (pandugane KSM) babagan sesaji lan donga ngawekani ‘sambekala wuku’ wis ora asli Jawa maneh.
Gumantung sing nampa. percaya njur dilakoni ya becik, ora percaya ya resiko pribadine dhewe-dhewe. Amarga pratelan ing wuku lan wetonan amung kaya dene ancer-ancer sipating manungsa kang disebabake kahanan aurora kosmis semesta nalikane lair. Fungsine kanggo instropeksi dhiri anggone nglakoni urip murih ngati-ati. Karomaneh, kanyatane pratelan wetonan lan pawukon ora bisa ditampa mentahan. Jalaran bisa gawe nglokro menawa pratelane elek, nanging uga bisa
njalari kemlungkung menawa pratelane tiba becik. Kabeh isih butuh disurasa dhewe-dhewe sagaduke ‘cipta rasa karsa’ kang diduweni.
Pratelan wuku lan wetonan uga dudu ‘kodrat’, nanging amung kaya dene ‘bungkus kosmis’ kang bisa disuwak utawa diluruhake. Gambarane kaya dene pengaruh lingkungan (masyarakat) marang perkembangan SDM. Menawa kahanan masyarakate pancen endhek kualitas peradabane, SDM uga endhek kualitase. Bisane owah menawa diwulang (pendidikan). Mengkono uga bab pratelan wuku lan wetonan kang gegayutan karo watak wantune manungsa bisa disuwak lan diowahi sarana ‘laku’ ngoptimalake dayane ‘cipta-rasa-karsa’.Ananging gandheng kang dadi sumber pengaruhe iku kahanan alam semesta, mula laku panyuwake uga ora gampang. Mulane para leluhur banjur njupuk panyuwake sambekala wuku nganggo sesaji lan didongani. Pamrihe
supaya gampang dilakoni dening ‘awam’. Wondene ‘kahanan alam semesta’ kang pancen ora becik kanggo sawijining pakaryan, para leluhur paring pepeling murih disingkiri. Pamrihe kanggo pangati-ati anggone tumindak lan tansah eling marang kahanan alam semesta. Pangati-ati iku becik, dadi ngawur banget menawa ana komentar nganggep ‘klenik’ marang kang percaya anane dina ala lan dina becik kanggo sawijining pakaryan.
Ilmu Pengetahuan lan Teknologi jaman saiki pancene wis bisa menehi andharan babagan observasi alam semesta. Pirang-pirang satelit bisa diorbitake kanggo kepentingan komunikasi lan mengamati gejala lan peristiwa alam semesta. Pigunane akeh banget tumraping manungsa. Nganti bisa ‘ngramal’ bakal anane bencana alam werna-werna. Kabeh observasi alam semesta mau bakune uga kanggo mangerteni owah gingsire kahanan alam semesta kang tujuwane golek ‘slamet’. Mula ing kene becike ditunggu wae asile observasi mau jumbuh apa ora karo pratelane wuku lan wetonan cara Jawa. Menawa jumbuh tegese leluhur Jawa wis ndhisiki ngerti pakartine alam semesta. Dene yen geseh, lagi bisa diarani menawa kawruh warisane leluhur Jawa bab
wuku lan wetonan pancen ‘ngayawara’.
Ngelmu Urip #20
Wuku lan wetonan sejatine dudu ramalan, nanging petung utawa malah bisa diarani sawijining kawruh kanggo mangerteni ‘situasi lan kondisi’ alam lan wataking manungsa manut weton lan wuku kelahirane. Gandheng manungsa kadunungan ‘cipta rasa karsa’ mangerteni kahanan alam semesta lan wewatekane dhewe-dhewe iku migunani kanggo nglakoni urip. Saora-orane kanggo
pangeling-eling murih bisa srawung kepenak karo sapadha-padha.
Pratelan wuku lan wetonan uga dudu kodrat, ananging amung ancer-ancer kahanan kang bisa disiasati dening dayaning ‘cipta rasa karsa’ kang diduweni manungsa. Ya ing kene iki perlune ngoperasionalake kesadaran ber-Tuhan, kesadaran kesemestaan lan kesadaran keberadaban. Menawa ing jeroning batin kita tansah ngupadi nglakoni urip kang ‘becik-bener-pener’ bakale
ya dituntun manggih kamulyan temenan. Beja-cilaka, seneng-susah amung kahanan kang lumrah dialami dening manungsa.
Ngelmu urip candhake ngrembuk bab ‘kesadaran keberadaban’. Tinitah dadi manungsa kang diparingi ‘cipta rasa karsa’ wus samesthine kudu beradab utawa nduweni ‘budi pekerti luhur’. Pigunane kanggo urip bebarengan karo sapadha-padha (manungsa liyane). Ing tengahing bebrayan pancen ana kang duwe panganggep menawa ‘peradaban’ Jawa isih kegolong primitif.
Panganggepe didhasarake anane lakubudaya Jawa ‘atur sesaji’. Malah kepara ana sing ndakwa menawa lakubudaya ‘atur sesaji’ iku ‘bersekutu’ karo setan. Ya, kabeh mau syah-syah wae, wong mung panemu. Tur akeh-akehe panemu kang mangkono iku ora dikantheni ‘nyinau’ luwih dhisik. Nek dijlentrehake larah-larahe sing klebu nalar, padha mbregudul emoh nampa. Lha ya
wis sumangga, wong kadhung nampa piwulang saka peradaban liya kang dianggep luwih bener lan moderen. Peradaban Jawa iku ngrembakane kanthi aras peradaban pertanian sawah lan kebaharian. Ana ing peradaban iki kanyatane dibutuhake ‘makarya bebarengan’. Ora ana
pegaweyan kang bisa ditandangi ijen. Olah tani nggarap sawah lan misaya iwak (kenelayanan) ora bisa tumandang ijen. Mesthi ana sangkut-paute karo manungsa liyane. Contone bab pengairan sawah cetha kudu ana ‘manajemen bersama’ murih padha bisa entuk banyu saka sumber alam kang uga dadi ‘milik bersama’. Semono uga nalika kudu golek iwak neng tengah laut,
mesthi bebarengan sak perahu.
Aras peradaban kang kasebut ndhuwur adoh banget sungsate menawa dibandhingake karo aras budaya ‘penggembala ternak’ ing Asia Daratan lan ‘pertanian kebun’ ing Eropa. Kekarone bisa ditandangi ijen utawa sak keluarga thook. Mula sing berkembang ‘individualisme’ dudu ‘kebersamaan’. Ana ing peradaban kang individualis banjur thukul anane budaya ‘juragan-pekerja’ lan kang ekstrim budaya ‘majikan-budhak’. Ana ing peradaban individualis banjur akeh tabrakan kepentingan: individu, keluarga (klan), lan kabilah kang entek-entekane wujud konflik.
Konflike rebutan padhang penggembalaan, rebutan kesuburan lahan perkebunan, rebutan budhak, lan rebutan ‘kamisuwuran-bandha-wanita’.
Beda banget karo aras peradaban Jawa kang pertanian sawah lan kebaharian. Ana ing peradaban iki, kanthi alamiah wong-wonge padha sadhar menawa ora bisa urip ijen. Padha sadar menawa antarane manungsa siji lan sijine ana ‘hubungan lan saling tergantung’. Biyen=biyene, masyarakat Jawa sing pedalaman (pertanian) nyawiji ana wilayah ‘Kabuyatan’, dene sing
neng pesisir ing wilayah ‘bebandharan’. Malah sing nggumunake, ing masyarakat pesisir, pemimpine para wanita kang disebut Nyai Ageng. Dene ing para Buyut kang akeh-akehe para pria disebut ‘Ki Buyut’ utawa ‘Ki Gedhe’.
Nyai Ageng lan Ki Buyut (Ki Gedhe) kejaba nduweni kaluwihan kepinteran babagan ‘kepemimpinan sosial’, uga padaha nduweni karisma (kaluwihan) ing babagan spiritual. Wewatakane ‘ngayomi’, mula wargane bisa suyud lair terusing batin. Kabeh warga ing
‘bebandharan’ lan ‘kabuyutan’ bisa makarya bebarengan manut kabisane dhewe-dhewe. Arang banget anane ‘konflik’ amarga arase tansah migunakake ‘musyawarah’ kang dipimpin dening pemimpin utama, Nyai Ageng lan Ki Buyut.
Ngelmu Urip #21
Anane pemerintahan model ‘kabuyutan’ lan ‘bebandaran’ nuduhake menawa sejatine Jawa iku duwe sistim pemerintahan sing teratur lan asli. Dudu jiplakan saka Asia daratan (India, Burma, lsp.) kaya dene panemune para pakar sejarah asing. Pancen ana teori-teori ‘nggladrah’ babagan asal-usule wong Jawa klebu budaya lan peradabane. Cilakane, anggone nyusupake teori mau pinter banget, kasebut ‘Jangka’. Manut teori ‘Jangka’ iki, asal-usule wong Jawa iku saka krenahe Sultan Ngerum (Timur Tengah) kang mrihatinake kahanane P. Jawa kang tansah kompal-kampul ing tengahing samodra. Banjur utusan para syech-syech sektine supaya mantek P. Jawa. Panteke wujud Gunung Tidar (Magelang). Sawise P. Jawa anteng banjur diiseni manungsa kang dijupukake saka wilayah Asia daratan. Diusung nganggo prau komplit sak ingon-ingon lan kaperluwan bukak sawah pertanian. Saben prau diiseni wong salaksa (10.000). Menawa dinalar, lha rak ketok banget anggone arep gawe ‘pinunjule’ wong-wong saka Timur Tengah. Buktine, wong Timur Tengah ora duwe ‘budaya bahari’, kok bisa-bisane gawe prau sing bisa momot puluhan ewu manungsa sak kewan-kewane. Lha ya kepriye bisane gawe prau, wong ora duwe alas kang kayu-kayune bisa dianggo gawe prau.
Ana maneh teori awur-awuran kang disebut ‘Jangka’ mau. Yaiku, crita menawa Sang Prabu Jayabaya iku muride Syech Samsujen kang asale saka Ngerum. Klebu nalar apa ora menawa “Ratu Gung Binathara Jawa’ mik trima dadi muride ‘syech’ saka negara Ngerum sing ora kondhang babar pisan ana ing sejarah?
Strategi penjajahan peradaban, ngono panemune KSM babagan anane teori-teori ‘nggladrah’ bab asal-usule wong Jawa lan budayane kang disebut ing ‘Jangka’. Bisa uga panemuku iki akeh sing ora sarujuk. Amarga kadhung percaya banget karo ‘jangka-jangka’ kang sumebar ing tengahing masyarakat. Dhek malem Selasa Kliwon (16 Juli 2007) kepungkur, KSM dikon sesorah ‘Falsafah Panunggalan’ neng ngarepe warga Yayasan Kanthil Semarang. Ana peserta sing takon, posisine
‘Jangka Jayabaya’ neng Falsafah Panunggalan iku priye? Tak wangsuli, menawa ing jangka kang dikarepake isih ana wacana Prabu Jayabaya muride Syech Samsujen, iku jangka ‘omong kosong’. Jangka kang migunakake basa Jawa anyar kasebut perlu dirunut neng basa Kawi. Jalaran nyebut Prabu Jayabaya kang ing jamane maju banget kasusastran Kawi (Kakawin). Yen ora ana rujukan ing basa Kawi, cetha yen ‘jangka’ kang dikarepake karyane penjajah. Tujuwane kanggo
ngringkihake ‘kedaulatan Jawa’.
Para maos, kanyatane ing donya iku pancen ana jajah-menjajah antar peradabane manungsa. Ing kene, Jawa tansah dadi korban penjajahan utawa sing dijajah. Mula akibate budaya lan peradaban Jawa diasorake. Dianggep primitif, kebak klenik lan ketahayulan. Wusanane wong Jawa akeh sing rumangsa ‘isin’ marang budaya lan peradaban warisan leluhure. Amarga wedi mlebu neraka, wong Jawa wis akeh kang ora gelem nindakake lakubudayane kang dicap ‘syirik’ utawa
bersekutu karo setan.
Kamangka, sejatine lakubudaya Jawa iku luhur banget. Ana ing sarasehan Selasa Kliwonan Yayasan Kanthil, tak aturake conto kaluhurane lakubudaya Jawa kang pancadane Falsafah Panunggalan.. “Kambing melahirkan pun perlu diselamati”, ngono irah-irahan berita Harian
Wawasan anggone ngomentari sesorahku. Nylameti laire wedhus, satleraman pancen kayadene tumindak nganeh-anehi lan mubadir. Nanging akeh sing ora mangerti menawa slametan laire wedhus kang wujud ‘dhawet’ iku nuduhake ‘ide Panunggalan’. Senajan wujude wedhus, kanyatane uga titahe Gusti Allah. Wong Jawa kang sadar Panunggalan lan rumangsa diparingi
‘Cipta Rasa Karsa’ mesthi mudheng menawa kudu ngurmati laire titahing Gusti. Perkara peradaban liya nganggep wedhus mik kewan kang syah ‘dibantai’ kanggo ritual agama, iku dudu urusane wong Jawa kang landhep ‘rasa pangrasane’, lantip ciptane, lan tulus sumarah karsane
tumuju marang Panunggalan.
Conto luhure peradaban Jawa liyane, yaiku tradisi sesaji ing malem Jumuwah Kliwon utawa Selasa Kliwon. Wujude sesaji ‘kembang setaman’ kang ing esuke disebar ing prapatan dalan utawa plataran omah. Akeh kang nganggep lakubudaya iki klenik, tahayul, lan syirik. Nanging coba tak aturi nyimak rapal mantrane nyebar kembang, mangkene:
“Ora nyebar kembang, nanging nyebar kabecikan. Gusti Ingkang Maha Kuwasa keparengna Paduka paring kawilujengan lan karahayon dhumateng sedaya titah Paduka ingkang langkung ing prapatan (plataran) punika.” Lha mbok wujud gendruwo, coro, utawa kirik sing liwat katut disuwunake keslametan lan karahayon. Mangga dipenggalih lan ditandhing karo lakubudaya liyane!